Adzan Magrib terdengar syahdu memecah keheningan. Beberapa sipir sibuk membuka sel tahanan, lalu para tahanan berhamburan menuju aula. Riuh dan gaduhnya suara para tahanan menggaung di sudut aula, sedikit memusingkan dan memekakkan telinga. Kadang, tercium bau tak sedap menghampiri hidung, ada beberapa tahanan yang belum membersihkan tubuhnya sejak dua hari yang lalu.
Rain berputar mengelilingi barisan tahanan, ia memerhatikan setiap wajah yang tak terlalu asing baginya. Wajah-wajah lusuh yang hampir setiap hari ia temui, hingga pada barisan akhir, kekecewaannya memuncak. Sosok itu tak memunculkan batang hidungnya sama sekali. Seseorang yang ia tunggu-tunggu tak menampakan tubuhnya. Di benak Rain, timbul pertanyaan dengan puluhan jawaban spekulasi. Diam-diam ia berjalan mendekati meja yang menyediakan banyak makanan, ia lebih dulu mengambil sebungkus nasi uduk dan beberapa gorengan.
Langkahnya sigap ketika meninggalkan aula yang ramai dan penuh sesak, suasana mulai kembali sunyi, ketika lorong-lorong tahanan terlewati.
Langkahnya sigap ketika meninggalkan aula yang ramai dan penuh sesak, suasana mulai kembali sunyi, ketika lorong-lorong tahanan terlewati.
Ia terus memikirkan seseorang yang telah menimbulkan banyak sekali rasa di dalam hatinya. Perasaan yang membuncah dengan liar, memenuhi sudut-sudut hatinya yang sempit dan dingin. Rain berjalan mendekati sel tahanan khusus, lalu memberhentikan langkahnya di depan barisan tralis besi yang kaku. Tubuhnya tak banyak bergerak, ia berusaha meredam bunyi langkah sepatunya. Masih dengan mengenggam sebungkus nasi uduk dan beberapa gorengan, ia menjulurkan kakinya dan terduduk di dekat tralis. Dinginnya besi berwarna hitam kelam seketika menusuk-nusuk tulang punggungnya. Ia masih menunggu, dan terus menunggu, hingga punya kesempatan untuk bicara.
"Sudah buka puasa?" Rain mulai membuka suara, ia tak menatap sosok yang diajak bicara.
"Tadi sudah minum air putih." jawab sosok itu dengan suara lembut.
"Kenapa langsung salat? Tidak bergabung dengan tahanan lain di aula?"
"Tidak, aku di sini saja. Tadi, aku hanya keluar untuk mengambil air wudu, lalu sel dikunci lagi."
Rain menoleh, menatap lekat-lekat wajah itu, "Kamu tidak lapar?"
"Memangnya ada apa?"
"Aku membawakanmu makanan."
"Terimakasih, Pak."
Mendengar panggilan yang begitu asing, Rain tertawa geli, "Panggil saja Mas, atau Rain sajalah."
Senyum manis mengembang dengan tulus di sudut bibir. Wanita itu membuka mukenah dan merapikan sajadah. Ia bergerak mendekati tralis sel, mendekati Rain yang terduduk tepat di depannya.
"Mengapa aku tak boleh memanggilmu dengan panggilan Pak?"
"Karena aku belum tua, dan sepertinya umur kita tak terpaut jauh, Shinta."
"Tak ada salahnya jika aku memanggilmu dengan panggilan Pak, karena nama aslimu pasti bukan Rain."
"Nama aslimu juga bukan Shinta."
"Tentu saja kamu tahu, di sini semua identitas disembunyikan. Tidak ada yang benar-benar tahu sisi terdalam seseorang."
"Keluarlah, Shinta." Rain membuka gembok sel, "Duduklah di sampingku."
Shinta melangkah dengan anggun, wajahnya masih bersih karena terbasuh air wudu. Ia duduk di samping Rain, kemudian segera melahap nasi uduk dan beberapa gorengan yang telah disiapkan pria bertubuh kokoh itu.
"Kamu sudah makan, Rain?" tanya Shinta dengan suara yang hampir tak jelas, mulutnya masih penuh dengan makanan.
"Bukan rasa laparku yang penting, aku lebih mementingkan rasa laparmu."
Jawaban itu mendiamkan Shinta, ia tak lagi banyak bicara. Pandangan Rain mengamati dinding-dinding kokoh di depannya, dinding yang mustahil untuk dihancurkan.
"Sudah selesai membaca Al-Quran?"
"Belum, Rain." tanggap Shinta dengan cepat. "Rencananya ingin kutamatkan sebelum vonis hukuman matiku terlaksana."
Rain menarik napas, perkataan Shinta seperti menusuk-nusuk hatinya. "Siapa yang sebenarnya kaubunuh?"
"Aku bukan pembunuh."
"Vonis hukuman mati terlalu berat bukan? Orang pentingkah yang kaubunuh?"
"Aku tidak membunuh siapapun."
"Kalau kamu tak membunuh, kautak ada di sel tahanan khusus."
"Sistem tolol yang menyebabkan aku berada di sini."
"Berjuanglah jika kamu tak salah, Shinta...."
"Berjuang adalah perkataan bodoh, orang kecil seperti aku tak pernah terlihat di pelupuk mata siapapun."
Rain tahu, perkataannya hampir membuat Shinta kesal. Ia memutar otak dan segera mengumpukan kosakata yang pas untuk meredam suasana, "Rindukah kamu dengan udara bebas di luar sana?"
"Sangat rindu."
"Dengan keluargamu?"
"Tak ada bedanya, sangat rindu."
"Kaupantas bebas, Shinta."
"Kebebasan hanya omong kosong. Percaya padaku, Allah sudah memikirkan jalan terbaik."
Shinta melirik jam tangan milik Rain, sudah pukul tujuh malam. Ia segera memasuki sel tahanannya dan menunggu Rain mengunci kembali sel tersebut. Melihat gerak-gerik Shinta, Rain langsung terbangun dari posisi duduknya. Ia memegang gembok dan mengunci sel dengan perasaan tak ikhlas.
"Katakan pada Tuhanmu, Shinta. Jika Dia nyata, bisakah Dia bebaskan kamu yang tak bersalah?"
Shinta menghela napas berat, tangannya memegang tralis penjara. Tatapannya pasrah ketika Rain kembali mengunci penjara.
"Jika Tuhanku tak dapat menjawab, bisakah Tuhanmu menjawab pertanyaan tersebut, Rain?"
Mereka berpisah, memalingkan wajah.
bersambung Di Balik Sel Penjara (End)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar