Di Balik Sel Penjara (End)

Senin, 07 Januari 2013

Di Balik Sel Penjara (End)

Cerita Sebelumnya: Di Balik Sel Penjara (I)

                Suasana hening itu kian mencekam ketika Rain harus mengendap-endap memasuki tahanan khusus tanpa diketahui oleh sipir lainnya. Rain menarik napas berat. Ia sesekali melirik Shinta yang sedang membaca Al-Quran dengan sangat serius. Shinta tak bersuara namun jemarinya terus menunjuk huruf-huruf Arab yang bahkan tak bisa Rain baca. Mereka tak saling berbicara, tapi tatapan Rain dan Shinta kadang bertemu. Tatapan menggantikan perkataan, ketika mulut tak bicara, matalah yang ungkapkan segalanya.
                “Baca apa?” tanya Rain, berusaha memecah keheningan.
                “Memangnya kamu paham kalau kuberitahu yang aku bacakan?”
                “Shinta....”
                “Ssstt.... Rain, udah mau sahur, nanti sipir yang galak itu masuk lho, kamu nanti diusir!”
                “Tinggal aku usir balik!”
                “Aku? Tumben menyebut dirimu sendiri dengan sebutan aku.”
                “Kita sudah berkenalan beberapa bulan, memangnya salah menggunakan panggilan aku dan kamu?” canda Rain sambil berusaha menjambak kecil rambut Shinta dari  luar sel penjara. “Kamu juga tadi menggunakan panggilan aku dan kamu, jadi kita satu sama!”
                Keheningan terpecah oleh suara tawa, tapi Rain dan Shinta langsung menutup suara karena takut para sipir menghampiri sel khusus yang didiami Shinta, tapi entah mengapa suasana begitu hening. Apa para sipir dan para tahanan lainnya sudah tidur?
                Tak ada yang paham, mengapa perkenalan mereka yang sudah berjalan berbulan-bulan ini menimbulkan rasa bahagia yang sulit dijelaskan. Tak ada yang mampu memprediksi, mengapa tatapan dan senyum yang mengisi hari-hari Shinta selama di penjara tak lagi terasa asing, semua jadi terasa begitu dekat.
                Hal itu juga yang dirasakan Rain, sehari saja ia tak melihat Shinta rasanya pahit dan menyebalkan. Tanpa disadari, mereka merasakan sesuatu yang aneh, bergerak dan meluncur dari mata turun ke dalam dada. Mungkinkah cinta?
***
                Waktu berlalu, kedekatan mereka berubah jadi rasa takut berpisah dan kehilangan. Memang tak ada sentuhan yang berarti, juga tak ada pelukan hangat saat hati mereka sama-sama merasa kedinginan. Dari luar terlihat tak ada yang begitu spesial, tapi siapa yang bisa memahami isi hati seseorang?
                Bulan ramadhan hampir berakhir, mendekati hari lebaran. Tak ada senyuman juga tawa yang merekah. Tak ada perayaan kemenangan, mungkin lebih banyak terlihat wajah penderitaan dan kekalahan. Tidak ada pesta, yang ada hanya duka. Dua hari setelah lebaran, hukuman mati yang diemban Shinta segera dilaksanakan. Mengingat fakta yang tak bisa dihindari itu, Rain tak kuasa menatap Shinta lagi dengan senyuman sebahagia dulu.
                Suara takbir terdengar dari kejauhan, meskipun terdengar seperti suara kemenangan, tapi akankah terasa menang jika tubuh masih berada dalam penjara? Rain bersandar di luar jeruji sel penjara, Shinta memebelakangi tubuhnya; tubuh mereka menempel dan berdekatan.
                “Kamu rindu udara bebas di luar sana?”
                “Iya, terutama aku sangat merindukan pantai dan gunung.”
                “Kenapa tak berusaha?”
                “Apalagi yang harus aku usahakan, Rain? Aku sudah kalah.”
                “Jadi, kamu menyerah?”
                “Aku tidak menyerah, aku hanya menerima takdir. Sesederhana itu.”
                “Kamu tidak bersalah, Shinta!”
                “Aku memang tidak bersalah, tapi mati muda bukankah menyenangkan?”
                “Aku tahu bukan itu yang kaurasakan, matamu berbohong!”
                Shinta menghela napas. “Aku tak bisa berbuat banyak, Rain.”
                “Aku bisa!”
                Rain berbalik badan, membuka jeruji sel penjara yang terkunci dengan cepat. “Keluarlah, pulanglah bersamaku.”
                Shinta menggeleng cepat, “Jangan.... penjaralah rumahku yang tepat.”
                “Tolol! Gadis sepertimu tak pantas tinggal di sini, Shinta!”
                “Kauyang bodoh, Rain! Kaubahkan tak tahu nama asliku, mengapa kaumemercayai penjahat serba misterius seperti aku?”
                “Karena aku tahu, kamu tak sejahat itu. Aku mengenalmu....”
                “Kamu tidak mengenalku, kamu hanya mengetahui aku.”
                “Tapi.... aku mencintaimu.”
                Hening.
                Tatapan mata Shinta mengeluarkan bulir air mata, sesak di dadanya kian memuncak. “Aku ini sampah, bagian mana dalam diriku yang kamu cintai?”
                “Hatimu.”
                “Kautolol, Rain! Tolol!”
                Rain tak peduli pada cemooh Shinta, ia menarik Shinta hingga ke lorong di luar tahanan khusus. Sejujurnya Shinta juga ingin merasakan udara bebas. Langkah kakinya mengikuti langkah kaki Rain, mereka mengendap-endap melewati dapur yang sepi dan tak terlihat lagi aktivitas.
                “Kenapa sepi sekali?”
                “Semua tahanan dan sipir telah kuberi obat tidur.”
                “Memangnya tadi kauyang memasak makanan untuk buka puasa terakhir?”
                Rain tertawa geli, “Iya, enak tidak?”
                “Enak, lalu, mengapa aku tak ikut tertidur?”
                “Karena makanan untukmu kumasak khusus, aku yang memasak dan mengatarkannya untukmu.”
                “Kaugila, Rain!”
                “Kalau aku tak gila, kautak akan mencintaiku kan, Shinta?”
                Shinta tersenyum manis, belum pernah Rain melihat senyum sebahagia dan semanis itu.
                “Kamu rindu rumahmu? Ingin pulang?”
                “Aku ingin pulang.”
                “Kalau kamu pulang bersamaku, bagaimana?”
                “Kalau aku pulang bersamamu? Kauakan dipecat dari sini, Rain!”
                “Lebih baik aku mengejar kebahagiaanku daripada aku terus tenggelam dalam kesepian.”
                Rain membuka pintu belakang di dekat dapur, pintu yang ditutupi rak piring, pintu yang tak banyak diketahui oleh penghuni penjara; pintu yang mendekatkan mereka dengan dunia luar.
                “Siap?”
                Anggukan Shinta mantap, Rain mengenggam tangan Shinta dengan erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog