Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (end)

Selasa, 10 Juli 2012

Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (end)

 Cerita sebelumnya di sini :)

           Pak Beno belum menjemputku. Sudah 30 menit berlalu, kakiku pegal menunggu mobilnya melintas di hadapanku. Aku menatap jam dan hampir sore. Rasa khawatir tak bisa kusembunyikan dari wajahku. Gigiku gemeretak, ada rasa ketakutan yang menghujamku dalam-dalam. Mahasiswa dan mahasiswi yang lain sudah pulang dengan kendaraan pribadi mereka. Aku masih menunggu di depan Fakultas Ekonomi, masih dengan rasa khawatirku yang menggebu-gebu.
            Berkali-kali titik pandangku hanya tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Aku sendirian, hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang berlalu-lalang di depanku. Tapi, tak ada mobil yang kukenal, Pak Beno belum juga menampakan batang hidungnya.
            Bus kuning berkali-kali lewat, aku memutuskan untuk pulang sendiri. Tapi... aku takut, bisa saja Pak Beno terjebak kemacetan, kasihan kalau aku pulang duluan dan beliau ternyata sedang dalam perjalanan menjemputku. Memang, menunggu itu menyebalkan, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku menghela napas. Berat.
            Ada perpustakan kecil yang melekat di dadaku. Aku memeluk buku ekonomi terapan dan beberapa buku ekonomi makro yang berbahasa Inggris. Sudah sore dan semakin sepi. Sebuah bus kuning melintas di halte, aku sigap memerhatikan. Ada seseorang yang turun dari bus itu. Berjalan lurus lalu mendekatiku.
            Seorang pria. Tatapannya tajam. Aku terdiam.
            “Kamu Raya ya?”
            Aku mengangguk, tak langsung bicara.
            “Pak Beno enggak bisa jemput, kita pulang sekarang ya.”
            Deg. Aku seperti mengenali pria ini, dari rambutnya yang ikal dan dadanya yang bidang. Setiap melihat bentuk dadanya, aku ingin membenamkan tubuhku dalam peluknya.
            “Kamu siapa?”
            “Pengurus taman di rumahmu, aku baru bekerja di sana, hanya untuk menggantikan pengurus kebunmu yang tidak bisa bekerja.”
            “Oh, kita pulang bareng? Naik apa? Kamu bawa mobil?”
            “Kita jalan sebentar, terus naik kereta.”
            “Jalan kaki? Naik kereta?!”
            “Iya, kok kaget?”
            “Aku enggak terlalu tahu daerah sini.”
            “Kamu kuliah di sini berapa tahun?”
            “3 tahun.”
            “Dan enggak terlalu paham daerah sini?” dia tertawa geli, sinar matanya begitu dalam namun hangat. Ia menatapku dengan tatapan yang segar bersemangat. Aku tak mampu menahan rasa senang yang bergulir di hatiku.
            “Aku biasanya dianterin lalu dijemput. Begitu terus, tiga tahun terakhir ini.”
            Aku sesekali menyembunyikan senyumku yang tak bisa berhenti melengkung di bibir. Aku berjalan di sampingnya, rapat. Beberapa detik siku kami bersentuhan, dan itu seperti aku bersentuhan dengan malaikat. Indah sekali, langkahku dan langkahnya seirama. Dia banyak bercerita, dan aku mendengarkan.
            Tak terasa, aku dan dia sudah sampai di Stasiun Pondok Cina. Seusai membeli tiket, ia menuntunku berjalan menuju tempat duduk penumpang. Aku sigap mengambil tissuedan membersihkan tempat duduk tersebut sebelum kududuki. Lalu, aku meroggoh tasku mencari hand sanitizer, membersihkan tanganku. Setelahnya, aku menggunakan masker. Ketika usai melewati keribetan tersebut, aku baru bisa duduk manis.
            Pria itu duduk di sampingku. Aku tak mampu mengendalikan detak jantungku yang memburu ketika ia berada dalam semestaku. Dia menatapku dengan heran, memerhatikan siluet tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tertawa geli, sekali lagi.
            “Kalau pake masker, cantikmu pasti hilang.”
            Jemarinya menyentuh telingaku, membuka masker yang kukenakan. Lancang, tapi aku tak ingin melawan. Sentuhan-sentuhan kecilnya membuat pembuluh arteri di tubuhku seakan-akan memberontak. Dia mampu membuatku merasakan banyak hal yang sebelumnya tak pernah kurasakan.
            “Sudah dilepas maskernya, begini saja. Kamu tak perlu menyembunyikan wajahmu, dunia perlu tahu siapa dirimu.” lanjutnya dengan nada lembut. Aku masih tak banyak bicara, karena aku sibuk merapikan debaran jantungku.
            “Kamu jarang ngomong sama orang yang kauanggap asing ya?”
            Aku masih tak menjawab, membiarkan pertanyaannya menjadi partikel kecil di udara.
            “Aku bukan penjahat.”
            Tatapanku lurus-lurus ke depan. Aku enggan menatapnya, karena saat bertemu mata, aku pasti bergonjang-ganjing, tubuhku pasti kelu, bibirku beku.
            “Raya...”
            Aku memberanikan diri menatapnya, dengan tatapan penuh perhatian. Beberapa detik tatapan kami bersinggungan.
            Sedetik.
            Dua detik.
            Tiga detik.
            Empat detik.
            Lima detik.
            Kereta lewat. Terlepas. Aku dan dia sama-sama salah tingkah. Ia memasang badan, siap untuk memasuki gerbong kereta. Aku berdiri di sampingnya, dengan tatapan cemas. Sebelumnya, aku tak pernah naik kereta.
            Pintu gerbong terbuka. Ia menggenggam tanganku dan menarik tubuhku dengan cepat hingga memasuki kereta. Commuter line agak penuh, aku dan pria itu berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Dia masih menggenggam tanganku dan aku menatapnya dengan tatapan dalam. Selama dalam kereta, ia terus menggenggam tanganku, melindungiku dari pekat dan sesaknya commuter line.
            Stasiun semakin dekat, kami bersiap-siap turun. Seusai menuruni kereta, ia mengajakku menaiki angkot. Iya, angkot, kendaraan yang juga belum pernah kunaiki. Sesampinya di kompleks rumahku, kami berjalan. Aku terdiam, dia juga.
            Rumahku sudah mulai kelihatan, aku berjalan semakin cepat dan dia mengikuti langkahku.
            Aku memasuki rumah dan dia tak memasuki rumahku. Aku meninggalkannya di depan pintu, tapi sepertinya dia masih memerhatikanku, menatapku yang berjalan menjauhinya. Aku merasakan tatapan itu.
            Sebelum benar-benar memasuki rumah, aku menghentikan langkah. Berbalik arah. Berjalan menuju sosoknya yang masih berdiri di depan pintu.
            “Namamu siapa?”
            “Yudhistira.”
            “Kamu suka dengerin aku main biola?”
            Dia tersenyum malu-malu, mengingat peristiwa satu hari yang lalu.
            “Besok aku ulangtahun, kalau kamu mau, kamu bisa datang ke rumah. Dengerin aku main biola.”
            Yudhistira mengangguk pelan.
            “Dalam kitab Mahabarata, pria bernama Yudhistira itu tangguh lho, sepertinya kamu juga begitu.”
            Dia tertawa namun menutup mulutnya dengan jemarinya, menyembunyikan giginya yang rapi. Kali ini, giliran Yudhistira yang hanya melakukan gerakan bahasa tubuh, ia tak banyak berkomentar. Ia baik, manis, dan berbeda dengan ayahku. Persepsiku salah, tidak semua pria brengsek seperti Ayahku.
            “Terimakasih.” ucapku singkat.
            Aku mencium pipinya.  Ia terperanjat.
            Senyumku tipis, kemudian berjalan meninggalkannya.
            Pipinya bersemu merah, pipiku tak ada bedanya.
            Kali ini aku tahu, sosok yang akan menjadi kado ulangtahunku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog