Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (part III)

Selasa, 10 Juli 2012

Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (part III)


 cerita sebelumnya di sini :)

           Sejak tadi aku menatap tanggal, ulangtahunku hampir dekat. Entah mengapa aku merasa gelisah, di hari ulangtahunku nanti, haruskah aku menengok Ibu terlebih dahulu? Aku mau bercerita banyak hal pada beliau, semua telah berubah sejak kepergiaan beliau.
            Aku mengalihkan pandanganku pada foto Ibu, senyumnya manis sekali, seakan-akan ia masih begitu hangat di sampingku. Foto Ibu yang terpasang di ruang tamu ini butuh perjuangan besar agar bisa terpampang di dinding. Aku beradu mulut dengan Ayah hanya karena foto ini. Agar foto Ibu bisa terus kupandang, agar beliau bisa terus hidup di dalam hatiku. Karena kematian tidak akan mengakhiri apa-apa selama ingatan masih ada.
            “Lihat apa, Non Raya?” Bi Ratna mengaburkan lamunanku.
            “Aku kangen Ibu, Bi.”
            “Ya dateng ke makamnya dong.”
            “Kalau Ayah tahu, nanti dia marah. Aku enggak boleh keluar-keluar lagi. Aku takut, Bi.”
            “Ya bilang sama Pak Beno supaya enggak usah bilang ke Bapak.”
            “Enggak usah deh, Bi. Aku enggak mau cari masalah. Mata-mata Ayah banyak.”
            Bi Ratna menangkap kesan berbeda di wajahku, mungkin ia merasakan kesedihan yang kurasa. “Non Ratna harusnya bisa lebih bahagia lho, sekarang kok malah sering cemberut?”
            “Udah mau UAS kali, biasa deh mahasiswi, setiap mau ujian bawaannya stres.” aku mengelak.
            “Terus Non Raya enggak belajar?”
            “Udah dari tadi kok, Bi. Bosen sama ekonomi makro dan mikro, enggak ada habis-habisnya.”
            Tertawa, tak begitu keras tapi cukup menyenangkan. Bi Ratna berjalan mendekatiku, ia duduk di lantai sambil mengenggam lap yang selalu melekat di jemarinya.
            “Mau makan siang apa, Non Raya?”
            “Rawon aja, Bi.”
            “Rawon?”
            “Iya, tiba-tiba mau makan rawon. Masakan yang paling sering Ibu masak.”
            Bi Ratna terdiam.
            “Ajak Pak Beno sama yang lainnya ya, Bi. Kita makan bareng-bareng. Masak yang banyak!”
            Bi Ratna tersenyum memandangiku, ada kedamaian di wajahnya.
***
            Aku memegangi perutku yang sudah berisi rawon dan nasi. Kenyang. Mengantuk. Inilah kebiasaanku yang tidak sehat, aku asal saja membaringkan tubuhku di tempat tidur. Menatap langit-langit. Memandangi warna putih yang tak pernah berubah. Lalu wajah Ibu membesar, semakin besar.
            Mataku berusaha terpejam, sejak pagi aku belajar terus–menerus dan inilah saat yang tepat untuk beristirahat. Tidak ada bunyi air conditioner yang nyaring, aku sengaja tidak menyalakannya. Jendela di kamarku terbuka lebar, ada angin sepoi-sepoi yang mengalir melalui celahnya yang besar. Aku tergoda dan siap memejamkan mata.
            Sreg. Bunyi yang tak kukenal mengusik mataku yang hampir terpejam. Aku terbelalak dan membuka mata lebar-lebar.
            Sreg. Sreg. Sreg. Semakin sering dan bunyi itu begitu menganggu jam tidur siangku. Sangat merusak jam istirahatku.
            Sreg! Sreeeeg! Sreeeeg! Sreeeg!
            Kudiamkan malah semakin membabi buta. Aku mengepal tanganku, meninju ranjang yang kutiduri. Aku berjalan mendekati jendela kamar dan berusaha mencari tahu sumber bunyi.
            Sesampainya di dekat jendela, aku langsung menatap keluar lantas menyoroti taman dan kolam renang di bawah.
            Lama aku menatap ke bawah.
            Terdiam.
            Seorang pria bertelanjang dada, menggunakan celana jeans, berambut ikal dan hitam sedang membersihkan kolam renang. Iya, aku masih terdiam, tak bergerak sama sekali.
            Terjadi getaran aneh di dadaku, jantungku berdebar dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Tubuhku tak bergerak, aku tak bisa banyak berkomentar, bibirku seakan-akan terkunci rapat. Aku sekarat!
            Otakku seakan-akan tak berpikir dan beku. Aku berhamburan mencari kanvas dan meja yang bisa didirkan. Pelan-pelan aku menggerakan kuas dan menggambar sosok yang baru saja kulihat beberapa detik tadi.
            Aku menggambar kolam renang, juga pepohanan yang mengitarinya, juga sosok itu. Aku hanya menggambar rambutnya, dadanya, tubuhnya, celana jeans-nya, dan galah yang dia pegang untuk membersihkan kolam renang. Sempurna. Dan aku tersenyum di bibir dan hati.
            Sekujur tubuhku masih kalang kabut, aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku berusaha untuk menatap dan merasakan sinar mata sosok itu. Aku menjulurkan kepalaku semakin ke luar jendela, namun tetap berpegangan pada kayu jendela yang lainnya. Sosok itu tak kunjung menunjukkan wajahnya.
            Bola mataku bergerak mengikuti gerakan sosok itu. Ia masih sibuk membersihkan  kolam renang. Sungguh, aku tak mampu menahan diri. Aku kehabisan cara untuk mengetahui hal-hal aneh yang terjadi padaku saat ini.
            Aku mencari biolaku dan langsung kembali lagi ke bibir jendela. Membuka jendela lebih lebar dan membentang. Biola yang kugenggam langsung kuletakkan di dekat bahu, aku menggesek biola dengan sangat lembut, sambil menatap sosok di dekat kolam renang itu.
            Aku memainkan nada dengan sangat indah, seakan-akan partitur telah jelas tertulis pada gerakan sosok itu. Aku terus bermain, semakin dalam, semakin dalam. Aku menutup mata, menikmati alunan musik biola yang kumainkan sendiri.
            Senar biola masih terus kumainkan, alunannya semakin indah. Entah ada energi apa yang memengaruhi jemariku hingga nada-nada yang kuhasilkan dari biolaku terdengar begitu manis. Aku masih terus bermain untuk beberapa menit dan kemudian terhenti.
            Pandanganku langsung menuju sosok itu, dia terkesima dan menengadahkan kepala ke jendela atas. Dengan dada yang bertelanjang dan masih memegang galah. Menatapku.
            Dia terdiam.
            Aku terdiam.
            Dia tersenyum.
            Aku kagum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog