+ Jadi, bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu?
- Si Khatolik? Semua baik.
+ Iya, Si Khatolik fanatik!
- Dia tidak fanatik, dia religius.
+ Lalu, kau mencintainya? Kau ‘kan Protestan, santai dan rentan.
- Saya mencintai dia. Sebaik dan seburuk apapun tingkah laku dan keadaannya.
+ Uh, mengharukan sekali! Coba berpikir kritis sedikit! Khatolik dan Protestan itu kembar tapi berbeda bukan?
- Memang yang terlihat sama selalu tak benar-benar sama. Aku mencintainya, begitu saja, mengalir.
+ Kau serius dengannya?
- Berusaha serius, walaupun dia begitu cuek, begitu sibuk, dan begitu menyebalkan. Pengabaiannya begitu menjengkelkan!
+ Kalau kalian ingin dipersatukan di altar suci, kau harus ikut agamanya?
- Dia yang harus ikut agamaku.
+ Egois!
- Aku berpegang teguh pada dogma agamaku, apa itu salah?
+ Entahlah.
- Kau sendiri bagaimana? Dengan Si Arab itu?
+ Aku mencintainya, seperti kau mencintai Si Khatolik itu.
- Cinta memang tak memandang agama, tapi kadang cinta gagal menyatukan agama walau mereka saling jatuh cinta.
+ Serumit itukah?
- Memangnya kapan cinta pernah sederhana?
+ Terang tidak dapat bersatu dengan gelap, seperti air dan api, mereka tak dapat saling menggantikan dan melengkapi.
- Padahal kau hanya jatuh cinta, memangnya agama salah apa?
+ Setahuku, dalam cinta tak ada yang salah, hanya soal waktu dan keadaan.
- Kalau kau tak bisa mencintai Tuhan-nya maka kau tak bisa mencintai dia.
+ Tidak ada istilah Tuhan-ku dan Tuhan-nya. Tuhan ya Tuhan. Dia esa. Dia satu.
- Tuhan memang satu, hanya manusia ciptaanNya saja yang berbeda.
+ Selama ini, kupikir dia yang terbaik.
- Kau hanya berpikir, belum mengetahui bagaimana realitasnya.
+ Kau serius dengannya?
- Sejauh ini, iya.
+ Untuk dipersatukan dalam ikatan suci dihadap Tuhan?
- Entahlah.
+ Sebenarnya, apa yang salah dari mencintai seseorang yang tempat ibadahnya berbeda dengan kita?
- Entahlah. Aku belum pernah berpikir sejauh itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar