Tersirat (END)

Minggu, 23 Desember 2012

Tersirat (END)



 Cerita sebelumnya: Tersirat II

               Ini bukan yang pertama kali bagi Dira. Ia menunggu sendirian, berjam-jam, demi sosok Kevin. Satu kali masih bisa dimaklumi, dua kali masih bisa ditolerir, tiga kali masih bisa dimaafkan, tapi tujuh kali? Dira menghela napas berat, apakah kehadiran Dira tak pernah Kevin anggap sama sekali?
                Pengorbanan dari menunggu memang menyakitkan, apalagi jika orang yang ditunggu tak pernah menampakan diri. Itulah rasa sakit yang Dira pendam, tak pernah ia ceritakan kepada siapapun. Ia masih menganggap Kevin adalah dunianya. Dia masih menganggap Kevin adalah sebab dari kebahagiaannya. Bisakah disebut kebahagiaan jika Kevin selalu melanggar janjinya?
                Benarkan perkataan Rama selama ini. Rama selalu bercerita kepada Dira bahwa Kevin sangat menyukai Dira, bahkan tergila-gila, namun hal itu tak benar-benar dirasakan Dira; justru pengabaianlah yang Dira rasakan sehari-hari. Cintanya seakan-akan bertepuk sebelah tangan. Pengakuan Rama mengenai perasaan Kevin, yang katanya begitu mencintai Dira, ternyata berbeda dengan yang Dira rasakan selama ini.
                Inikah kesalahan Dira? Terlalu bodoh menanti seseorang yang mungkin saja tak mencintainya? Nampaknya, Dira sudah berikan segalanya. Perhatian, sikap manis, dan tentu saja cinta. Balasan apa yang Dira terima dari Kevin? Rasa sakit hati.
                Pantaskah Dira menuntut balas dari Kevin? Bukankah cinta tak pamrih? Bukankah cinta tak mengenal kata menuntut untuk dicintai balik? Bukankah cinta lebih mengenal ketulusan daripada imbalan? Iya, Dira paham, sangat paham. Namun... Kevin... apakah dia tak punya mata untuk melihat pengorbanan Dira? Apakah dia tak punya telinga untuk mendengar kata-kata manis dari bibir dira? Apakah Kevin tak lagi punya perasaan untuk merasakan perhatian yang Dira berikan?
                Dira hanya terdiam, tak bisa apa-apa, bahkan ketika Kevin tak datang untuk kesekian kalinya. Janji diingkari lagi. Ia menunggu Kevin di dekat danau UI hingga hujan deras. Terpaksa, Dira berteduh di bawah lorong Balairung UI. Ia merapatkan tangannya di depan dada, berusaha menemukan kehangatan dengan memeluk tubuhnya sendiri. Hujan selalu berhasil membuat seseorang mereka-reka kembali ingatan masa lalunya, hal itu juga yang Dira lakukan ketika hujan semakin deras dan udara semakin dingin.
                Ia berpikir keras. Untuk apa ia berkorban demi Kevin? Kevin yang terlihat tak merespon, memberi perhatian, dan balik mencintainya. Dira tak ingin memikirkan Kevin untuk saat-saat ini, karena saat memikirkan Kevin; ia tak lagi temukan celah kebahagiaan.
                Di bawah hujan yang semakin deras, Rama berlari-lari kecil menghampiri Dira. Ia sudah tahu sebenarnya Kevin tak akan datang dan Dira akan menunggu sendirian. Rama tak tahan melihat Dira yang justru kehilangan senyumnya ketika berusaha membuat Kevin tersenyum.
                “Ngelamun terus lo!”
                “Bukan ngelamun, ini lagi berteduh!”
                “Nunggu siapa?”
                Dira terdiam. Ia menatap Rama dengan tatapan sendu.
                “Enggak usah dijawab, gue selalu bilang sama elo kan, diam lo sudah cukup menjawab.” Rama menerangkan dengan wajah kusut. “Kevin enggak datang lagi?”
                Anggukan Dira berayun pelan. “Entah sudah yang keberapa kali.”
                “Masih mau menunggu?”
                Dira tersenyum kecut.
                “Buat apa menunggu yang jauh agar segera kembali jika yang di dekat lo tak pernah memutuskan pergi?”
                Tatapan Dira heran, “Maksud lo?”
                “Buka mata lo.”
                “Udah.”
                “Bukan mata yang itu!” Rama menunjuk kelopak mata Dira.
                “Mata yang mana?”
                “Yang ini.” ucap Rama sambil mengarahkan jari telunjuk ke dadanya. “Gue enggak mau kalau senyum lo malah pudar ketika lo ingin membuat orang lain tersenyum.”
                “Gue enggak kehilangan senyum gue sendiri kok.”
                “Elo enggak merasa, tapi orang di sekitar lo merasakan. Ketika hati lo enggak peka, orang lainlah yang bisa saja merasakan yang sebenarnya terjadi sama lo.”
                “Rama.... tapi, kata elo, Kevin sayang sama gue.” mata Dira berair.
                “Bercerita tentang Kevin adalah satu-satunya cara agar gue punya kesempatan ngobrol sama lo.” jelas Rama dengan wajah menunduk. “Perasaan Kevin yang gue ceritakan ke elo sebenarnya adalah perasaan gue, yang entah harus bagaimana gue ungkapkan ke elo.”
                “Jadi....”
                “Jadi, kita pulang, sebelum elo menggigil kedinginan.”
                Dira berusaha mengundang senyum kembali ke bibirnya, Rama merangkul Dira dengan debaran jantung berirama cepat.
                Jika bisa terus berjalan, haruskah kamu menghentikan langkah untuk menunggu?
                Jawabannya ada di dalam hatimu.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog