Untukmu, yang beberapa kali muncul di layar televisi.
Apa kabar, kamu? Apakah kamu kelelahan ketika melewati rentetan peristiwa yang terjadi beberapa minggu ini? Aku bisa menebak rasa lelahmu, karena kantung matamu terlihat jelas dan raut wajahmu yang tersenyum berusaha menyembunyikan lelahmu. Minggu-minggu ini memang sangat melelahkan, kamu berjuang mati-matian. Tapi, aku tahu kamu adalah pria yang kuat dan hebat, kamu sosok berkharisma yang merenggut perhatianku tanpa sisa.
Kampanye sudah selesai, euforia kota Jakarta masih terdengar riuh dan mengamit resah. Mereka bertanya-tanya, begitu juga aku yang terus bertanya. Bagaimana perasaanmu saat ini? Mungkinkah, kamu sedang mondar-mandir mengelilingi ruangan sambil mengunyah permen karet? Apakah tanganmu terasa dingin ketika hari pencoblosan sudah tiba? Kalau aku di situ, aku akan mengenggam tanganmu erat-erat, rapat-rapat, tanpa ucap.
Kamu, yang tak pernah terlewati dari sorotan mataku.
Apakah kamu mengenalku? Berkali-kali kita bertemu, namun dibatasi oleh layar kaca. Aku melihatmu, tapi kamu tak melihatku. Aku merasakan perasaan aneh yang bergelayut di otakku, entahlah mungkin aku mulai mengagumimu, atau bahkan menggilai gerak-gerikmu. Aku seringkali menjerit dalam hati, ketika sosokmu kembali muncul di berita pagi, lalu menggebu-gebu di kabar siang, dan tersenyum penuh wibawa di guratan berita malam.
Sungguh, aku memikirkanmu. Dan berharap bisa menyalami tanganmu seperti orang-orang beruntung yang bisa menyentuh jemarimu. Aku ingin melihat wajahmu seperti orang-orang bernasib baik yang bisa menatap dalam-dalam wajahmu. Aku ingin banyak hal, tentangmu, tapi tak mungkin.
Aku terdiam dan tak melanjutkan obsesiku. Aku tak minta banyak hal, aku hanya ingin merasakan kehadiranmu dalam semestaku. Berubahlah menjadi apapun, asal kamu mengorbit dalam galaksi milikku.
Pria dengan tatapan sendu yang mengacaukan sel-sel impuls di otakku.
Kali ini, aku tak peduli, kau mau menganggapku wanita bodoh dengan banyak obsesi atau gadis setengah gila yang mengharapkan banyak hal. Aku hanya mengagumimu, bukan ingin merusak hari-harimu. Kamu orang besar, tenar, banyak orang yang menggantungkan nasib dan harapannya pada padamu. Aku hanya sebagian kecil dari mereka yang membutuhkan kamu dalam barisan hari-hariku.
Kamu bukan udara, oksigen, atau air. Tapi, sehari tanpa melihat senyummu, rasanya ada yang kurang. Minggu-minggu ini, aku mulai terbiasa menatapmu setiap hari dan terus-menerus, berganti-ganti channeltelevisi hanya untuk mendapati dirimu yang antusias membangun Jakarta menjadi lebih baik.
Aku ingin bersinggungan dengan tatapan matamu yang lembut, dan merasakan petasan Pekan Raya Jakarta meledak-ledak di jantungku.
Untukmu, pria pemilik senyum melankolik.
Sudahlah, kini kausudah paham tentang perasaanku, atau masih tak paham? Atau masih bingung? Atau masih geleng-geleng kepala? Percayalah, aku pun sama denganmu, kebingungan dan pusing tujuh keliling. Aku juga tak mengerti perasaanku. Aku hanya tahu rasa ini bertumbuh lebih cepat daripada yang kuduga. Tiba-tiba aku melihatmu, lalu kamu ada di kepalaku, lalu senyummu terus memenuhi labirin-labirin kosong di hatiku.
Apa yang harus kulakukan, Pak? Haruskah aku menyeret bayangmu hingga benar-benar keluar dari otakku? Aku tak bisa, dan tak akan pernah kucoba, karena aku menikmati saat-saat ini, saat kamu mengalir dalam jengkal napas dan setiap tetes darah.
Masa kampanye sudah usai, dan pilkada Jakarta hampir usai. Apakah aku masih bisa bertemu denganmu di layar kaca? Apakah aku bisa merasakan sinar matamu dari balik televisi? Apakah aku masih pantas mengagumimu?
Sudahlah, kamu orang hebat. Jalani tugasmu dan aku akan diam-diam mendoakanmu.
Kalau boleh sedikit lancang, aku mau minta fotomu yang pakai baju kotak-kotak itu. Mau kusimpan di kamar, untuk mengalihkan perasaan rinduku. Boleh ya, Pak?
Dari pengagummu yang sangat pengecut.
Yang juga tak mengerti
perasaannya sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar