Aku sudah terbangun dari tidurku. Aku tak ingat sejak kapan lampu ruangan ini dimatikan. Ruangan ini terlihat agak gelap, hanya cahaya dari jendela yang menelusup masuk menerangi beberapa sudut ruangan. Namun, masih terlihat remang-remang, tak ada terang.
Tetesan infus luruh setitik demi setitik. Alat pengukur detak jantung memamah kesunyian yang terantuk. Pada sudut sofa, mamaku tidur dengan posisi terduduk. Beliau menyilangkan tangan di dada. Sofa empuk menjadi tumpuan untuk menyandarkan badannya yang kelelahan. Rambut beliau tak lagi tertata rapi. Ada goresan berbeda di wajahnya, pencampuran antara mata sembab karena menangis dan wajah lelah karena menungguiku selama puluhan jam.
Aku menatap langit-langit ruangan ini. Hanya langit-langit, bukan langit! Hanya ada cicak-cicak berkejaran, bukan bintang-bintang bertaburan. Sudah lama sekali aku tidak menatap langit, sudah lama sekali aku tidak mencecap suasana malam yang bermandikan cahaya bulan serta bintang. Sudah lama sekali! Sampai-sampai aku tak ingat kapan hari terakhir aku puas memandangi kerlap-kerlip bintang.
Rasa sakitku ini membuatku lupa pada hal-hal indah yang dulu pernah kurasakan. Dulu... pancaindraku terkendali dengan begitu penuh, ia berjalan beriringan dengan saraf motorik dan sensorik di tubuhku. Tapi... itu dulu. Sebelum aku sakit!
Aku menghela nafas sambil berusaha mengerak-gerakkan jemariku. Itulah salah satu “kemahiran” yang bisa kulakukan beberapa bulan terakhir, karena sepanjang hari aku hanya berbaring dan berbaring. Selalu begitu, semua berjalan datar dan biasa saja, seakan-akan aku bisa menebak apa yang mampu kulakukan untuk hari-hari berikutnya.
Langit-langit ruangan ini terlihat sangat membosankan, pandanganku mulai menyapu ke arah jendela. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari di luar sana, hingga titik-titik airnya masih membekas pada kaca jendela. Tatapanku kosong, dalam kehampaan itu aku melihat secercah sinar yang berbinar di jendela bagian luar. Sinar itu tiba-tiba meredup lalu menghilang.
Hal itu terlihat janggal, apakah cahaya tadi berasal dari kunang-kunang? Tapi... jika iya, cahaya itu terlalu terang dan sinarannya terlalu kuat. Aku masih tercengang pada peristiwa yang baru terlewat beberapa detik tadi. Belum terhapus rasa cengangku, ada sesuatu lagi yang membuat mataku tak bisa mengedip.
Pandanganku menyorot pada sosok yang tidak kukenal, ia sedang duduk santai di tepian jendela, kakinya berayun-ayun seakan-akan menyentuh dinding, tapi tak ada bunyi apapun yang dihasilkan sosok itu. Sosok itu melempar senyum padaku. Tubuhnya bersinar lembut sehingga ruangan ini tampak cukup terang. Bibir atasku seakan-akan tak mengenal bibir bawah, sulit untuk dikatupkan! Bibirku menganga!
Sosok itu tiba-tiba mendekat. Ia turun dari tepian jendela dan berjalan mendekati tempat tidurku. Aku sedikit ketakutan. Aku menarik selimut hingga menutupi bahuku, hanya kepalaku yang terjulur dan pandanganku masih mengarah padanya. Seharusnya aku tak perlu takut, karena sosok itu terlihat jauh lebih pendek daripada yang kubayangkan. Tingginya seperti anak 5 tahun. Saat berjalan, langkahnya begitu ringan, seakan-akan ia tak menyentuh lantai, seakan-akan ia berjalan diantara awan-awan.
Semakin dekat! Semakin dekat! Sosok itu kini hanya beberapa inci dari tubuhku. Ia berdiri sangat dekat dengan tempat tidurku.
“Nyenyakkah tidurmu?” sapa sosok asing yang tak kukenal itu.
Mataku semakin terbelalak. Suaranya begitu lembut, aku seperti mendengar nyanyian surga yang menggelitik gendang telingaku. Aku mencubit lenganku. Terasa sakit! Aku mengucek-ngucek mataku. Sosok itu masih berada di sampingku! Ini bukan mimpi!
“Nyenyakkah tidurmu?” ulang sosok asing yang sedang berdiri di hadapanku. Ia tampak sangat ingin mendengar jawabanku.
“Nye... nye.. nyenyak!” jawabku terbata-bata. “Si... si... siapa kamu?”
Ia tersenyum, ada kehangatan luar biasa ketika senyumnya tersimpul sederhana di bibirnya. Wajahnya bersinar. Matanya berbinar seperti benda yang sering terlihat di malam hari, bening matanya seperti kerlap-kerlip bintang yang bermandikan cahaya bulan.
“Hey, Jangan takut.”
“Aku hanya heran ada sosok asing yang mendekatiku. Aku tak terbiasa dengan hal itu. Jadi, siapa namamu?”
“Aku tidak punya nama.” ucapnya perlahan. “Tapi... kau bisa panggil aku malaikat.”
Aku tertawa kecil, tatapanku terlihat sinis. “Lihatlah! Kau melucu!”
“Kau boleh percaya ataupun tidak, tapi malaikat tidak pernah berbohong.”
Perkataan itu memaksa otakku untuk bekerja lebih maksimal. Aku masih mencerna pertanyaan sosok asing itu. “Tapi, aku tidak mengenal sosokmu.”
“Kamu memang tidak mengenalku, tapi aku sangat mengenalmu.”
“Mengenalku?”
“Tentu saja, Angel. Nama kita sama! Aku malaikat dan kamu Angel.”
“Dari mana kau tahu namaku?”
“Aku sudah bilang padamu, aku tahu semua hal tentangmu. Aku sudah di sisimu sejak belasan tahun yang lalu.”
“Belasan tahun yang lalu?” ujarku mengulang ungkapan yang ia lontarkan.
Sosok itu mengangguk. “Dan... baru hari ini kita sempat bertemu.”
“Tolong jangan mengumbar omong kosong. Sebenarnya... aku tidak percaya malaikat itu ada!”
Matanya yang bersinar mengisyaratkan sesuatu. “Kenapa?”
(bersambung... ke Menjemput Angel part II)
with love :)
Dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar