Cinta pertama tak ubahnya lingkaran yang tak berujung. Cinta pertama layaknya tanda tanya yang butuh usaha keras untuk mendapat jawabnya. Cinta pertama seperti sebuah percakapan imajiner yang tak mampu menciumi kenyataan. Cinta pertama seperti mata yang tertutup tangan kita sendiri, menyebabkan “kebutaan” yang menyejukkan, yang sengaja kita lakukan dan rasakan, sadar ataupun tidak sadar.
Sebut saja, Senja. Pria dengan pandangan tajam yang berkali-kali mengiris rindu dalam hatiku. Aku tak pernah lupa cara dia memandangku dan menyimpulkan senyum di sudut bibirnya untukku. Aku selalu ingat suaranya saat memanggil namaku dengan lengkap. Aku masih mampu menggambarkan dengan jelas perasaanku kala itu, saat semua yang pertama selalu menyenangkan, saat segala yang pertama selalu mengesankan. Banyak orang menyebutnya cinta monyet, tapi bolehkah kalau kukatakan bahwa monyet pun juga berhak untuk yang pertama? Berhubung aku dan kamu bukan keturunan monyet, jadi sebut saja perasaan tak logis ini bernama cinta pertama.
Senja dan aku memang tak pernah tahu rasanya jatuh cinta, sampai pada suatu ketika tangan Tuhan mulai memainkan takdir milikku dan miliknya. Kulihat sepotong wajah selalu tergantung di batas waktu, dan tahukah kamu bahwa wajah itu adalah milikmu, Senja? Maka harus dengan kata-kata yang seperti apalagi, untuk membuatmu mengerti, bahwa aku pun juga hanyalah anak ingusan yang baru pertama kali merasakan ini! Aku benci ketika harus berjalan dalam kegelapan lalu mencari-cari arah untuk terus berlari ke arahmu! Aku benci mengetahui kenyataan… bahwa sebenarnya kautak pernah punya cahaya untukku!
Kauharus tahu ini, Senja! Kauharus menjawab semua kebingungan yang sejak dulu betah di otakku! Apa maksud dari gerakan kecilmu yang menahanku untuk tidak bermain saat bel istirahat berdering? Apa yang kaulihat di wajahku setiap kali kita menghabiskan bekal bersama dan hanya berdua? Apa yang kaucari selama kita latihan paduan suara Natal, sehingga matamu tak pernah melepaskan bayanganku? Apa yang kauinginkan setiap kali kamu berbaris di depan dan menyanyi dengan begitu lantang saat aku menjadi conductor upacara bendera? Apa yang kaurasakan saat tatapan kita saling mengunci pandangan? Apakah jantungmu berfrekuensi melebihi detak jantung atlet lari? Apakah aliran darahmu berontak dalam arteri sampai vena? Senja… jangan biarkan aku terus bertanya. Dimana jawaban dari semua pertanyaanku kamu sembunyikan? Mengapa kauselalu buatku penasaran?
Dulu, kita masih terlalu dini untuk mengerti cinta, apalagi menafsirkannya. Dulu, segala hal yang pertama itu menyeretku pada dimensi yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Apa yang diketahui oleh dua orang anak beliau yang masih duduk di bangku 6 SD selain bermain dan bermain? Bukankah segala yang pertama itu hanyalah permainan sederhana yang biasa kita mainkan? Tapi, bolehkah kamu mendengar pertanyaanku sejenak? Jika memang cinta pertama itu hanyalah permainan, mengapa rasa itu bisa terasa begitu nyata?
Senja, masa-masa itu memang tak akan pernah kembali. Tak ada lagi masa saat kamu bercerita tentang cita-citamu menjadi seorang pilot. Tak ada lagi masa saat aku bercerita tentang cita-citaku menjadi seorang teknik sipil. Tak ada lagi kita yang dulu berjalan di garis waktu yang sama. Semua hanyalah kenangan yang masih sering mengintip diam-diam melalui jendela kenyataan. Salahkah kenangan, jika dia melakukan tugasnya untuk mengalaukan seseorang? Salahkah masa lalu, jika dia hanya mampu menjadi benalu?
Sejak kepergianmu, kaucuri matahariku, kaugantikan dengan bulan milikmu, hingga setiap malam hanya redup yang menyelimuti musim milikku. Kapankah kaukembalikan matahari milikku? Kembalikan saja matahari itu! Ambil saja redup yang menyelimuti musimku! Kamu memang tak pernah pulang dari pergimu, karena kautak tahu rasanya rindu.
Seharusnya tak kubiarkan kamu masuk dalam hidupku. Sehingga tak perlu ada perpisahan dan pertemuan yang selalu ingin terulang. Seharusnya kubiarkan saja sikap-sikap anehmu itu. Sehingga tak akan pernah ada rasa menganggu yang disebut rindu itu. Inikah perpisahan yang kaumau? Mengakhiri suatu babak, menutup sebuah cerita pada suatu tempat… tanpa perundingan. Kalau begitu, keluarkan aku dari penjara nafasmu! Aku benci harus terjerat oleh bayang-bayangmu!
Tapi setidaknya, cerita kita pernah ada, Senja. Cinta pertama takkan mampu bisa disembunyikan, sekuat dan sedalam apapun kita membunuhnya. Sekarang, hanya kenangan dan cerita yang kita punya, karena apapun yang terjadi diantara aku dan kamu tak pernah punya hak untuk dibukukan menjadi dongeng pengantar tidur. Mungkin inilah yang menjawab semua ketakutanku, cinta monyet tak akan menyentuh masa depan. Tapi, salahkah jika kita harus melawan takdir, lalu menjadikan cinta monyet yang penuh misteri itu menjadi masa depan kita?
Perpisahan saat legalisir ijazah itu hanyalah sebagai pembanding… pembanding untuk menguji kekuatan dan keseriusan kita. Mampukah aku dan kamu bertahan dalam cobaan? Mampukah kita saling menguatkan? Mampukah kita kembali bertemu di masa depan? Sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan?
Jelas saja cintaku dan cintamu tak punya mata, cinta kita buta! Cinta kita gelap! Tak mengapa kalau cinta kita tak mampu memberi terang, karena cinta yang jelas dan terang, bersih dan steril, terlalu suci dan putih, seperti bukan cinta lagi. Cinta yang terlalu terang menghilangkan kejutan! Jadi… biarkan Tuhan menyimpan kejutan yang ada. Biarkan takdir membuatku menunggu. Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun berapa lamapun selama aku mencintainya. Selama jawaban yang pasti telah menanti, selama kamu berjanji untuk kembali.
Senja… detak jantung yang tak beraturan ini masih milikmu. Rasa gugup yang menyentak masih menunggu hadirmu. Aku menyesal karena telah kutulikan telingaku, ketika alunan rindu begitu manis kaubisikkan.
with love :)
Dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar