Aku tak tahu mengapa berkali-kali pertengkaran di antara kita selalu terjadi. Aku tak mengerti apa salahku dan salahmu yang selalu menghasilkan adu argumen tanpa mengerti situasi. Inikah kita yang awalnya selalu merasa memiliki kesamaan? Benarkah semua sifat egois yang selalu meledak setiap kali kita mempertahankah pendapat?
Ada batu yang sangat keras di kepalamu dan di kepalaku. Ada aliran sungai yang begitu deras pada tutur kataku dan tutur katamu. Mengapa kita tak pernah lelah untuk mencari masalah? Mengapa aku dan kamu selalu senang menyelami jurang perbedaan?
Kita selalu merasa paling dewasa. Kita selalu merasa paling tahu apa yang ada di dunia. Keegoisan yang membuncah liar itu... amarah yang tak terkendali itu... seperti ada iblis yang memporak-porandakan isi otak kita. Sehingga tak ada kata yang tersaring dalam omongan kita. Ah... mengapa kita masih saja saling menyakiti jika kita memang saling mencintai?
Benarkah aku dan kamu telah dewasa? Jika kita masih butuh air mata untuk mencerna semua yang sulit kita mengerti. Benarkah aku dan kamu sangat siap menyatu menjadi kita? Meredam segala ego dan kemunafikan yang ada.
Sebenarnya apa yang ada di labirin otakmu dan labirin otakku? Adakah kita memikirkan kelanjutan yang sedang kita jalani ini?
Mungkin... benar kalau kita masih berjiwa bocah. Kita masih mencoba untuk dewasa. Kita masih mencoba untuk berubah. Peralihan yang paling sulit adalah saat anak ingusan menciumi titik kedewasaan. Jiwamu dan jiwaku masih terlalu lemah untuk mengerti segala hal yang disediakan dunia. Mataku dan matamu masih terlalu lelah untuk menatap segala kemungkinan yang ada.
Awalnya, kita selalu berbicara tentang kesamaan dalam diri kita. Tapi, saat pertengkaran tercipta, kita malah mengungkit perbedaan yang turut menjadi penumpang gelap dalam pelayaran kita. Inikah cara orang dewasa menyelesaikan perkara yang ada? Yakinkah kamu bahwa kita telah dewasa?
Aku benci ketika kita selalu saling menyalahkan... mencari kambing hitam dari setiap permasalahan. Aku benci ketika emosi dalam diriku dan dirimu menjadi begitu dominan saat kita tak mampu berbicara dengan kepala dingin. Aku benci! Sangat amat benci ketika kita berlaku seperti anak TK yang berebut naik perosotan di taman bermain. Bukankah kau selalu bilang kita telah dewasa? Bukankah kita selalu berusaha bertingkah dewasa ketika bahkan kita tak mampu selalu berpura-pura menjadi dewasa.
Bukan salahku juga bukan salahmu. Ini persoalan kita! Kita yang belum siap mengerti dan menekuni arti cinta yang sesungguhnya. Ini persoalan kesiapan! Kesiapan untuk menghadapi apapun yang mengganggu langkah dan perpindahan kita. Mungkin... kita masih terlalu dini untuk mengerti apa yang terjadi. Kita masih terlalu kecil untuk mengetahui rencana besar yang Tuhan selipkan dalam pertemuan kita.
Mungkin, ini bisa jadi salahku, yang selalu tak mengerti jalan pikiranmu, yang tak terlalu memahami ucapan bibirmu. Mungkin juga ini salahmu, yang selalu memikirkan segala hal dengan logika, yang selalu mencerna banyak hal hanya dengan persepsimu. Dan... kemungkinan berikutnya... ini salah kita. Kita yang tak mampu menahan amarah. Kita yang masih belum mengerti arti bersabar yang sesungguhnya.
Ini bukan yang pertama. Ini terjadi entah-sudah-berapa-kali. Tapi, aku dan kamu selalu memutuskan untuk kembali. Aku dan kamu selalu memutuskan untuk kembali menjadi kita.
Ini seperti siklus pertemuan dan perpisahan yang sulit ditebak waktu dan kronologinya. Perpisahan yang terucap hanyalah pertemuan yang tertunda. Layaknya perpisahan, pertemuan yang tercipta hanyalah perpisahan yang bisa terjadi kapanpun.
Jika berkali-kali kita mengucap kata perpisahan, salahkah jika kita mengharapkan kembali sebuah pertemuan?
Maaf untuk pertengkaran semalam
Aku memang belum terlalu siap untuk menjadi semestamu
with love :)
Dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar