Bogor, 23 Januari 2012
Hey, Sipit! Sudah lama aku tak mendengar suaramu, sudah lama juga pesanmu tidak mampir ke inbox handphone-ku. Apakah kaubegitu sibuk? Apakah sudah ada seseorang yang lain? Secepat itukah? Ah, maafkan aku, kini aku bukan siapa-siapamu lagi, segala keputusanmu bukan lagi hak aku untuk mengurusi, segala kepentinganmu bukan lagi kepentinganku. Kita sudah begitu berbeda dan dunia kita tak berotasi di poros yang sama.
Bagaimana kabar Lintang, Langit, Laut, dan Bagas? Nama yang telah kita rencanakan untuk anak-anak kita kelak. Aku titip salam untuk anakmu kelak yang bernama Bagas, Lintang, Langit, dan Laut ya. Titip salam juga untuk wanita pilihanmu. Dulu, Lintang, Langit, Laut, dan Bagas adalah sosok khayalan yang hanya hidup dalam anganmu dan anganku, angan kita, dulu. Bahagiakah mereka setelah kita berpisah? Apakah mereka tetap ada meskipun kita tak lagi bersama? Ya... Mereka tetap ada dalam pikiranku, menjadi kenangan yang membisu, menjadi pembisik rindu saat aku mengingatmu, mengingat aku dan kamu... yang sempat menjadi kita.
Siapa wanita pilihanmu saat ini? Betapa beruntungnya dia bisa menjadi milikmu, betapa senangnya dia bisa menjadi penyebab tawamu, dan betapa serunya dia bisa masuk dalam hidupmu. Bukan seperti aku yang mengendap-endap keluar dari hatimu, lalu menyesal telah melakukan kebodohan itu.
Untukmu, seseorang yang sempat menjadi penambang rindu di hatiku
Pernah beberapa kali aku merindukanmu, merapal namamu dalam doa, dan memikirkan kamu saat Doa Bapa Kami mengalir melalui ucapan bibirku. Masih bolehkah aku melakukan hal-hal yang dulu aku lakukan saat masih bersamamu? Merindukanmu, mencintaimu, memerhatikanmu, dan mendoakanmu. Masih bolehkah aku menghubungimu secara berkala? Masih bolehkah aku memarahimu ketika kautak makan hingga malam menjelang? Masih bolehkah aku merindukanmu meskipun kini kautelah bersama dia?
Rasanya, semua kini berbeda. Wajahmu yang Cina dan wajahku yang Jawa, tapi dulu kita bisa saling jatuh cinta. Tak peduli bagaimana cinta itu datang dan tiba-tiba saja mengetuk pintu hatimu dan hatiku. Awal yang sederhana, melalui pesan singkat, berlanjut ke sambungan telephone, lalu kita saling bercerita dan berbagi. Betapa indahnya masa-masa itu, betapa indahnya masa lalu, masa dimana masih ada kamu.
Masih ingatkah kamu pada dua rekaman di-handphoneku yang berisi suara kita saat sedang berbicara melalui sambungan telephone? Aku tertawa cekikian ketika mendengarmu menyanyikan lagu berjudul C.I.N.T.A dan Mau Dibawa Kemana, aku iseng menyuruhmu untuk menyanyikan lagu itu berulang-ulang, berkali-kali juga kamu mengulang lagu yang sama. Lalu lagu itu di medley dengan Garuda Pancasila, sampai akhirnya kamu kelelahan dan berkata, “Udahlah, Yang. Ganti lagu la, Daniel Sahuleka? How? Don't sleep away this night my baby. Please stay with me at least 'till dawn. Atau I Adore You? You Make My World So Colourful? Atau Rossa aja deh! Kumenunggu. Cepetan!”
Akhirnya, aku pun mengikuti lagu yang kauinginkan, suaraku mengalun dan kauterdiam, sepertinya kamu begitu menikmati suaraku. Kamu memaklumi aku yang tak terlalu mengingat lirik lagu tersebut, pada akhir lirik, kamu memperdengarkan suara tepuk tangan. Jujur, aku sangat merindukan masa-masa itu. Aku sangat rindu malam-malam di mana kamu mau menemaniku begadang, aku rindu malam-malam di mana aku bisa terus mendengar suaramu untuk mengantarku dalam lelap, walaupun suaramu lembut mengalir hanya melalui sambungan telephone.
Untukmu, Cina. Si mata sipit yang belum pernah kurasakan sinar matanya
Cin... Kita memang belum pernah bertemu, kita memang belum pernah saling menggenggam tangan, kita belum pernah saling menatap, kita belum pernah saling berpeluk, tapi sadarkah kamu kalau cerita kita begitu nyata? Absurd tapi menyenangkan, maya tapi menyisakan kenangan. Aku benar-benar merasa kehilangan.
Cin... Bisakah kauberhenti menjual bayang-bayang? Aku benci ketika harus terus mengingatmu ketika bahkan kutahu kau tak mengingatku! Bisakah kauberhenti merasuki malam-malamku? Aku takut ketika harus memikirkanmu ketika bahkan kusadar kautak memikirkanku. Tolonglah, Cin... Ini permintaan terakhirku. Bisakah kenangan tentangmu berhenti menganggu hari-hariku? Aku muak dipermainkan kenangan! Aku bosan dipermainkan otakku sendiri! Aku lelah, Cin... Aku sangat amat lelah.
Sempat terpikir untuk melupakan sosokmu, sempat terencana untuk menghapus semua tentangmu, pernah terbesit harap untuk tak lagi merindukanmu, tapi... ternyata aku belum cukup kuat untuk melakukan itu. Aku terlalu lemah... untuk melupakanmu.
Dari wanita yang berjarak 5 tahun denganmu
wanita yang masih saja rela
dipermainkan kenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar