Kala itu. Dia Pemeran Utamanya (Part II)

Senin, 19 September 2011

Kala itu. Dia Pemeran Utamanya (Part II)

"Janji sama aku, enggak pakai air mata."              


                "Rumah simbahku di dekat pabrik batik Winotosastro, kalau kamu tidak tahu tempatnya, kamu cukup berhenti di depan pasar Prawirotaman, nanti aku menjemputmu disana, menunjukkan arah menuju rumah simbahku." Penjelasanku kala itu mengisi inbox handphonenya.
                "Oke, Dek. Sampai ketemu ya, aku enggak sabar dikenalkan dengan simbahmu, apalagi keluargamu!"
                "Jangan kepedean, aku belum tentu mengenalkanmu pada keluargaku. Slow down lah!"
                "Haha teko santai to, Dek. Cuma becanda to yo!"
                "Oke, selamat malam, segera tidur ya, jangan tidur terlalu larut!"
                "Kamu juga, Dek. Smoches!" Percakapan kecil yang tercipta melalui pesan singkat itu berakhir. Hanya tinggal menunggu tanggal "mainnya" saja.
***
                Mama mengajakku kesana kemari, membeli oleh-oleh, wisata kuliner, dan berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya. Yogyakarta yang kala itu ramai dengan plat B benar-benar membuat isi kepalaku berontak. Macet dimana-mana menambah peningnya kepalaku. Aku masih saja sibuk melirik ke arah jam tangan dan jam digital di dekat ac mobil, mencocokkan jam mana yang paling benar dan paling tempat. Padahal, janjiku pada Mas Senja pukul 8 malam sedangkan waktu telah menunjukan pukul 8 lewat 12 menit. Aku hanya bisa menunggu, menunggu sesuatu yang belum pernah terjadi, menunggu sesuatu yang sulit untuk kuprediksi, mengenalkan seorang pria pada keluargaku.
***
                Aku berlari-lari kecil menuju pasar Prawirotaman. Kembali kulihat lagi jam tanganku, pukul 20:35. Kupercepat laju lariku, sesampainya disana sosok kemeja kotak-kotak mencuri pandanganku. Aku menghampiri Mas Senja.
                "Udah lama ya, Mas disini?" Dengan nafas terengah-engah, aku menyapanya terlebih dahulu.
                "Baru 10 menit kok, Dek. Rumah simbahmu dimana e, Dek?"
                "Di sana. Udah kamu ikut aku aja, aku jalan kaki, kamu naik motor."
                "Kamu enggak capek emang?"
                "Enggak, wong deket kok rumah simbahku."
                "Naik motorku aja dek, kubonceng."
                Aku menatap wajahnya yang kala itu disinari lampu redup jalan raya. Suara khasnya beradu merdu dengan lalu-lintas pinggiran kota. Rambutnya yang panjang se-pinggang disembunyikannya dibalik kemeja kotak-kotak itu. Beberapa detik kemudian aku menaiki sepeda motornya. Ini kali pertama aku dibonceng oleh seorang pria. Nafasku memburu satu-persatu, melaju dengan kecepatan maximum. Idiot! Dia pria pertama yang membuat jantungku ingin keluar dari posisi seharusnya, hanya karena aku menduduki jok sepeda motornya, walaupun hanya beberapa detik.
                "Dari sini nyebrang, lurus terus, pas ketemu pabrik batik Winotosastro langsung belok kanan. Beberapa meter dari situ sudah sampai rumah simbahku." Jelasku sayup-sayup ditimpa suara mobil dan sepeda motor yang lalu-lalang disekitar pasar Prawirotaman.
***
                "Dek.. Nganu aku ini loh emhh gini jadi aku...." Ucap Mas Senja terbata-bata.
                "Kenapa, Mas?" Tanyaku singkat sambil memandangnya.
                "Aku grogi, aku cuma bawa martabak cokelat e. Piye iki?" Jawabnya dengan wajah yang memerah, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkah lugunya kala itu.
                "Masuklah..." Aku menuntunnya memasuki rumah simbah. Mas Senja menguatkan langkahnya, menegakkan badannya, dan berjalan dengan sangat mantap. Di ruang TV ada keluargaku yang sejak tadi sibuk membicarakanku, dari raut wajah mereka yang menjijikan itu, aku bisa menebak bahwa dalam hati mereka berkata,"Dwita sudah besar, sudah berani memperkenalkan teman lawan jenisnya."
                Uh! Rasanya aku ingin sekali meninju wajah mereka yang menyebalkan itu, mendepak rasa keingintahuan mereka yang terlalu dalam. Padahal, Mas Senja ini kan temanku, ya dia memang lawan jenis tapi dia temanku.
                Di ruang tamu, kami kembali membicarakan banyak hal. Kuliah arsiteknya, universitasnya, gambar konstruksinya, pembuatan maket dan tugasnya, serta banyak hal-hal lain yang kembali membuat kami tak sadar akan desahan jam dinding malam itu.
                Kala itu, dia benar-benar menjadi pemeran utama. Menjadi seseorang yang membuat pandanganku tak mau lepas dari gerak-geriknya. Saat kami sedang bercanda, Mas Senja mengeluarkan rambut panjangnya yang sejak tadi dia sembunyikan dalam kemejanya. Rambut panjang sepinggang yang menjadi kebanggannya sejak SMA. Rambut yang menyebabkan ia mendapat julukan "Michael Jackson". Rambut yang menjadi kebanggaannya, sejak ia bersekolah di sekolah yang beralamat di Laksda Adi Sucipto 161 itu. Rambut yang selalu ia tunjukkan saat mengikuti misa rutin. Dia benar-benar membuatku mengerti arti detak jantung tak beraturan saat duduk berhadapan dengan seseorang yang begitu menyenangkan.
                Waktu berjalan dengan begitu cepat, rasanya baru beberapa menit aku duduk dan memandangnya, tapi kala itu waktu telah menunjukkan pukul 21:30. Dia pamit pulang pada keluargaku, aku mengantarnya hingga gang depan.
***
                "Jadi, kamu pulang besok, Dek?" Sambil menuntun sepeda motornya, ia memandangku dan mengajakku bicara.
                "Iya, Mas. Pagi, sekitar jam 9 pagi." Jawabku singkat.
                "Kapan kembali ke Yogya?"
                "Aku enggak tahu, Mas. Yang jelas aku sangat ingin kembali kesini lagi."
                Langkahnya terhenti, aku yang berjalan juga ikut menghentikan langkahku
                "Oh, iya! Aku mau kasih kamu sesuatu," Dia membuka resleting tasnya, aku menatapnya penasaran. "Nih! Gara-gara ini nih aku telat beberapa menit. Belinya di tempat yang kemarin, ternyata kalau malam toko bunganya masih buka."
                "Mas, makasih ya bunganya. Bagus." Dengan wajah tersipu malu, aku mencium bunga yang baru saja Mas Senja Berikan. Bunga kedua dan kedua kalinya aku tersipu malu karena benda sederhana ini.
                "Aku pasti akan sangat merindukanmu, Dek." Tungkas Mas Senja sambil melanjutkan langkahnya lagi.
                "Aku juga, Mas. Aku mulai tahu menyiksanya rindu sejak kamu mengagetkanku di Stadion Mandala Krida itu." Jawabku seadanya, aku yang sejak tadi menahan rasa gengsi akhirnya menyerah juga. Aku berkata rindu, isyarat perasaanku mulai tumbuh menjadi sesuatu yang tak kutahu.
                "Mau berjanji untuk segera kembali? Mau berjanji untuk tetap menghubungiku walau kita jauh?"
                "Secepat yang aku bisa, aku pasti kembali, Mas. Dan, saat aku kembali ke daerah istimewa ini, aku tak lagi sebagai siswi tapi sebagai mahasiswi. Doakan ya!"
                "Aku selalu membawa namamu dalam doa, Dek. Bahkan sebelum kita bertemu."
                Dadaku terasa begitu sesak, rasanya aku benar-benar tak ingin meninggalkan Yogyakarta secepat itu. Aku masih ingin tinggal, untuk beberapa bulan, untuk beberapa tahun, dan kalau bisa selamanya. Aku masih ingin menginjakkan kakiku di Yogya. Aku masih ingin melihat dan memerhatikan Mas Senja dengan senyum dan tawa khasnya.
***
                Sesampainya di ujung gang, dia mulai menyalakan sepeda motornya. Sekali lagi dia menatapku, mataku yang mulai memerah, suaraku yang mulai serak. Dia membelai rambutku pelan, "Kenapa, Dek?"
                Aku berusaha sekuat mungkin menatapnya, aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku, "Enggak apa-apa, Mas."
                "Wanita itu kalau bilang enggak apa-apa pasti sebenarnya ada apa-apa."
                "Aku...." Ucapku pelan, tatapan kami melekat erat.
                "Yasudah. Janji sama aku, enggak pakai air mata."
                "Iya, Mas."
                "Cepat kembali. Yogya itu bukan tempat kamu untuk singgah, tapi Yogya adalah tempat kamu untuk pulang."
                "Aku enggak akan singgah di Yogya, Mas. Aku akan pulang ke Yogya."
                "Sekarang aku yang harus pulang. Yang jelas kamu tahu kan perasaanku, Dek? Seorang pria yang memberi bunga pada seorang wanita dengan tatapan yang berbeda, bernama cinta."
                Aku melengkungkan senyum, ia membalas senyumku dengan tatapan yang sama. Aku melepaskan kalung salib yang melilit lembut di leherku dan memindahkan kalung salib itu di lehernya, melilit sempurna di lehernya.
                "Kamu tahu kan perasaanku, Mas? Seorang wanita yang memberikan kalung salib pada seorang pria dengan tatapan hangat, bernama cinta."
                Matanya menjatuhkan butir-butir halus dan hangat, pipinya basah oleh gerimis yang pelan-pelan jatuh dari pelupuk matanya. Aku meremas pundaknya,"Tanpa air mata, Mas."
                "Iya, Dek. Jalan dulu ya."
                "Iya, Mas. Hati-hati ya."
                Dia melaju dengan kecepatan standar. Aku memandang punggungnya dari kejauhan hingga punggungnya menghilang dari pandangan mata. Sambil memandang bunga pemberiannya, pipiku terasa hangat, basah tanpa desah, oleh air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog