"Apa yang terlihat dari luar bukan berarti menunjukan apa yang ada di dalam"
“Mengapa kaumencintaiku?” Dia menatap mataku, sepertinya pertanyaan yang cukup serius.
Aku menyimpulkan senyumku padanya, “Karena kaulangka dan berbeda.”
“Aku bukan flora atau fauna. Mengapa kaumencintaiku?” Dia kembali mengulang pertanyaan yang sama, sinyalir bahwa jawabanku tidak seperti yang dia harapkan.
“Karena kaulangka dan berbeda.” Jawabku tetap sama, aku mengerlingkan mata.
“Na, mengapa kaumencintaiku?” Pertanyaan yang sama, ternyata jawabanku tidak menghilangkan tanda tanya dalam otaknya. Bahkan dia memanggilku “Na” penggalan dari nama panggilanku Donna. Kemana panggilan “Sayang” yang biasa ia keluarkan dengan mudah dari mulutnya?
“Mengapa aku mencintaimu? Aku mencintaimu karena aku mencintaimu. Aku tak punya alasan logis untuk menjelaskan itu, Sayang” Ucapku lirih sambil membuka kacamatanya, membiarkan pandangannya kabur. Walau saat itu bayanganku tak terlihat jelas, tapi aku percaya bahwa suara tawaku terdengar jelas di telinganya.
***
Dia kekasihku, namanya Salju. Dari namanya, kalian bisa menyimpulkan bahwa dia adalah pria dengan kulit putih, tampan, dengan senyum yang membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona. Tentu kalian masih membayangkan bahwa dia bagai Prince Charming yang direka Walt Disney untuk menyelamatkan lalu mencintai seorang putri yang cantik tapi tidak bahagia. Okay, kali ini kalian harus bersedih. Salju bukan seperti yang kalian bayangkan. Dia berkulit sawo matang, tidak tampan, dan senyumnya tidak mencuri perhatian siapapun yang melihatnya. Wujud dari seorang pria biasa berkebangsaan dan berkewarganegaraan Indonesia. Dan yang lebih menonjol lagi adalah tinggi badannya melampaui pria Indonesia lainnya, 196 sentimeter. Titik. Mengapa mulut kalian menganga? Toh, di mataku dia adalah pria yang luar biasa. Dengan segala keterbatasan yang dia punya, dia tetap dapat melengkapi kekurangan yang kumiliki.
Dan aku, Donna. Kalian mungkin mengira aku adalah mantan finalis majalah remaja yang lebih memamerkan kelebihan tampang dan kulit yang putih bersih. Tapi, sekali lagi kalian salah besar. Aku hanya mahasiswi biasa, yang malas bangun pagi dan benci televisi. Di sana mereka hanya menjual mimpi, yang bertampang yang menguasai, yang tidak bertampang hanya boleh sekAdar “dadah-dadah” layaknya orang bodoh yang berada di belakang reporter saat melaporkan reportase dari tempat kejadian perkara. Aku tidak cantik, kesan pertama orang melihatku pasti mereka beranggapan bahwa aku tak menarik. Dan kenyataan yang harus ku terima, tinggi badanku 166. 30 sentimeter dibawah Salju.
Saat kami berjalan berdua, saat dia menggenggam tanganku dengan erat, kami merasa ada banyak pasang mata mengawasi. Layaknya dua orang oger, Shrek dan Fiona, dua-duanya buruk rupa, yang membuat mereka luar biasa adalah kekuatan cinta mereka. Aku dan salju berbanding lurus dengan Shrek dan Fiona. Semua mata hanya bisa mengejek kami berdua. Si gigantisme dan si gempal berjalan berdua, saling menggenggam tangan seakan tak ada yang menyoroti aku dan dia. Dia punya keterbatasan, tapi dalam keterbatasan yang dia miliki, dia masih terus berusaha untuk melengkapiku. Secara fisik, kami terlihat rendah. Dari luar, kami memang tak terlihat menarik. Tapi disini, di dalam hatiku dan salju, kami punya sesuatu yang tak dimiliki siapapun yang hanya bisa menjelekan keadaan aku dan dia, cinta.
***
“Jadi, cowok lo yang tinggi itu yah?” Galuh bertanya sambil menunjuk Salju yang sibuk mencari buku di rak perpustakaan. Saat orang lain harus menjinjitkan kakinya, Salju malah membungkukan badannya untuk mencapai buku di rak teratas.
“Iya, kenapa, Luh?” Jawabku tanpa melepaskan pandanganku dari buku yang sejak tadi menempel erat di jemariku.
“Kayak jerapah ya. Tinggi banget.” Dengan senyum yang seakan mempermalukan Salju, Galuh melontarkan komentarnya tentang penampilan fisik Salju.
Aku menatapnya dengan tatapan menantang, “Memang, kadang gue manggil dia Jerapah kok.” Senyum paksaan yang kusimpulkan sambil menatap Galuh. Gadis tercantik di kampusku, hanya pria idiot yang tidak menyukai kecantikan wajahnya. Tapi, sayangnya dia tidak terlalu pintar dalam moral apalagi akademi. Seperti hukum Newton I : Kecantikan berbanding terbalik dengan KEPINTARAN.
“Oh, pantesan. Dia jerapah, lo badaknya.” Tanggapan yang singkat tapi cukup membuatku geram. Aku masih berusaha tak menunjukan amarahku daripada aku mencetak tanganku diwajahnya, lebih baik aku tersenyum kan?
“Gila, lo hebat banget! Salju itu manggil gue dengan sebutan Badak loh! Jerapaaaaaaaaaaaah!”
Salju seketika menghampiriku, “opo, Dak? BADAK!”
“Enggak apa-apa, aku heran deh, Pah. Di perpus kan Acnya banyak banget yah, tapi kok bawaannya gerah gini?”
“Iya nih, Dak. Ada orang yang bawaannya komen pedes mulu sih, jadi gerah. Mbok bercermin dulu to sebelum ngasih cermin ke orang lain. IP 2,1 aja ngegaya banget. Kamu aja, Dak yang Ipnya 3,7 santai wae, enggak ngegaya.” Salju menungkas dengan lebis pedas. Ah, Sayang. Kau benar-benar kekasihku!
Aku melihat wajah Galuh merah padam, dandannya yang tebal terlihat akan segera luntur. Dia memang terlalu HOT (baca: pedas), mencair karena panas yang dia ciptakan sendiri. Aku melengkungkan senyum sinis pada Galuh, menarik tangan Salju dan membiarkan Galuh mematung sendirian. Sayang, aku suka caramu menyelamatkanku!
***
Dan inilah kita, Salju dan Donna. Si gigantisme dan si gempal. Si tinggi dan si pendek. Si genius dan si pintar. Si kacamata dan si tukang ngemil. Si buruk rupa dan si buruk rupa. Kami memang tak pernah terlihat normal dimata orang lain. Kami selalu terlihat aneh dimata orang lain. Dipojokan, direndahkan, dan terpinggirkan. Salju tak seperti mahasiswa dengan mobil dan gadget meriah hasil harta orangtua mereka. Dan aku bukan mahasiswi jago dandan yang sering bercermin tiap detiknya. Dan kami bangga dengan segala kekurangan yang kami punya, dengan segala keanehan yang tidak dimiliki pasangan lainnya, dengan segala keunikan yang hanya kami miliki dan dengan segala kemahatololan yang pernah kami lakukan. Kami berusaha “menutup telinga” dengan apa yang dikatakan orang, yang tahu hubungan kami ya hanya kami berdua.
Bagiku Salju berarti bahagia. Tingginya memang 30 sentimeter diatasku, bahkan tinggiku hanya dibawah ketiaknya. Tapi, selama rentan waktu aku bersamanya, dia selalu jadi telinga yang baik untuk mendengarkan ceritaku. Dia selalu menjadi pundak terkuat tempat aku bersandar. Dia luar biasa, dia melebihi kapasitas orang-orang yang hanya bisa melihat kekurangannya. Apa yang terlihat dari luar bukan berarti menunjukan apa yang ada di dalam. Itulah prinsip kami. Aku terlihat buruk dari luar tapi indah di dalam, hanya Salju yang tahu. Salju terlihat buruk di luar, tapi bagiku dia adalah salju putih yang menyejukan kala bulan Desember membawa kebahagiaan bagi semua orang. Salju hanya terlihat buruk dari luar, tapi dari dalam, dia begitu indah. Hanya aku yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar