Aku megap-megap memarahi dia. Dia lebih dulu janji makan malam denganku, tapi dengan santainya dia mengatakan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun istrinya. Sebegitu pentingkah istrinya sampai dia harus membatalkan janji kita? Dia bilang, dia begitu mencintaiku. Dia katakan, akulah segalanya yang dia cari. Tapi, mengapa dia masih tidak ingin mengakhiri hubungannya dengan istrinya? Lucky bitch! Aku frustasi.
***
"Ken, gimana makan malamnya?" Kiena mencolekku sembari berbisik. Hal ini biasa dia lakukan jika pertanyaan yang ia lontarkan terkesan hanya kita berdua saja yang tahu.
"You knowlah, gagal abis. Dia ngebatalin janjinya, mendadak dia bilang istrinya ulang tahun. Well, gue ngalah untuk yang keribu-ribu kalinya. Dia lebih milih istrinya dan ketiga curut-curutnya." Aku menjawab pertanyaannya sambil terus mengetik. Oh, aku mengahabiskan beberapa detik dalam hidupku hanya untuk menjawab hal tidak penting.
"Curut-curut?" Kiena bertanya dengan wajah keheranan.
"Anak-anaknya maksud gue. hehe."
"Oh, please. I'm not judging you, Kenaya. Semua orang punya alasan untuk sebuah pilihan, termasuk jadi simpanan suami orang.."
"So?" Aku menanggapi kata 'oh, please-nya' yang biasa ia keluarkan ketika kebingungan atau kewalahan menasehati seseorang.
"So apa?"
"Hello, please, Kiena. Firas! The right one who finally! Hmm.." Aku mencoba mencari kata yang tepat. "Sayangnya, dia punya istri."
"Ya... dan lo gak ada usaha buat ninggalin dia sama sekali? Muka lo mau ditaro dimana kalau jadi simpanan suami orang?"
"Na, cinta itu kadang ga pake logika."
"Iya, gak pake logika! Tapi, yang lo lakuin ini terlalu diluar logika! Lo gak waras!" Kiena memegang keningku dan menepuk-nepuknya. "Lagian juga, masih banyak duda-duda keren dan perjaka unyu-unyu diluar sana."
"Lho? Itu bukan masalah gue. Mereka dipelihara negara!" Aku menjawab nasehatnya dengan nyeleneh, kupingku panas!
"Bukan, tapi dipelihara tante-tante! Hahaha." Kiena tertawa kencang dan hampir saja aku memasukan kipas angin ke dalam mulutnya, berisik!
"Na, lo paling tau kan gimana perasaan gue? Kadang, gue pun ngerasa bersalah sama apa yang gue lakuin. Tapi percaya deh, gue ga bakal lama-lama bikin lo kuatir sama keadaan gue." Aku melempar senyum simpul dan meremas bahunya. Bahu yang sering aku pinjam saat aku menangis. Ditengah ketergesaan dan riuhnya kantor, hanya Kiena yang mau diam mendengar ceritaku.
***
Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat ini. Bangunan tua dalam wujud runtuhan benteng yang masih satu Benteng ini, runtuhan bangunan yang tidak terpakai ini. Mengingatkan aku pada seseorang. Seseorang yang pergi tanpa meninggalkan salam perpisahan.
"Nunggu matahari terbenam juga ya, Mbak?"
"Eh, iya, Mas." Aku menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang pria sedang duduk di sampingku.
"Wah, aku mengagetkanmu ya? Maaf, Mbak. Kamu sampe bengong gini."
"Enggak kok, biasa aja."
"Saya izin duduk disini ya?"
"Silahkan." Aku masih saja memperhatikan wajah pria ini dari samping, matanya terlihat indah dan bening.
Dia terdiam dan terlihat menikmati angin yang daritadi menggelitik manja tubuhnya. Suasana sepi dan tenang, hanya terdengar raungan sepeda motor yang berlomba-lomba agar segera sampai rumah sebelum adzan Maghrib menjelang.
"Dunia itu luas atau sempit ya, Mbak? 10 tahun saya di negeri kincir angin tapi kalau lagi kangen, ya kangennya selalu dengan kota ini, Jogjakarta. Apalagi matahari terbenam di Benteng Pulo Cemeti ini, riuhnya lalu-lalang kendaraan di sekitar Ngasem sama sekali tidak menyurutkan keindahan momentum terbenamnya..." Dia tertawa kecil dan melemparkan kerikil-kerikil kecil yang daritadi dimainkan dan digenggamnya. "Zaman SMA dulu, saya sering kesini bersama seorang hawa, hampir setiap hari. Tapi, sejak kemarin saya sampai disini, dia tidak kunjung menampaknya batang hidungnya."
Aku mulai tertarik dengan ceritanya yang sepertinya terdengar miris. "Bagaimana ciri-ciri mahluk hawa itu? Mungkin aku bisa membantu?"
"Huh? Oke. Dia wanita yang lebih suka dandan secara natural. Rambutnya bergelombang, matanya coklat, hidungnya mancung, pipinya berisi dan dia..." Suara pria itu terhenti sejenak saat memberi ciri-ciri wanita yang ia cari. "Dan dia.. Dan dia.. Seperti kamu, senang menatap wajah seseorang dari samping. Dia senang menatap mataku yang katanya bening."
Aku mengenal dengan baik wajah pria ini. Aku bertemu dia lagi. Alana Dewantara, pria yang hilang beberapa tahun ini. Matanya yang bening masih sama. Dia masih sama. Terlihat dengan jelas tidak ada cincin melingkar dijari manisnya.
Kami berbicara terlalu fokus. Tanpa disadari sebentar lagi senja yang menenangkan akan menyapa. Mentari sedikit menarik diri ke kaki langit, dia pun butuh isrtirahat karena lelah bekerja seharian menyinari seluruh langit ini, langit Jogjakarta dan dunia.
"Mbak, beritahu saya jika kau menemukan hawa yang saya sebutkan. Jika saya temukan tulang rusuk itu, saya akan menjadikan dia satu-satunya wanita yang saya lihat saat bangun pagi. Dia akan menjadi satu-satunya wanita yang menemani saya melihat matahari terbenam, disini, di tempat yang sama..." Dia kembali menatap mentari yang mulai kemerahan, menatapnya dengan dalam. Seakan-akan ikut berbicara dengan lemabayung. "Besok, saya akan kesini lagi. Siapa tahu dia datang dengan polosnya sambil membawa mimpi senja yang akan kami wujudkan bersama."
Matahari terbenam dan akan segera bertukar tugas dengan bulan. Sebentar lagi, bulan pun akan bekerja menyinari langit Jogjakarta. Aku mulai sadar, ada cinta sejati yang menungguku. Ada seseorang yang menungguku agar kita bisa saling mewujudkan mimpi bersama. Hal ini tidak pernah aku dapatkan dari hubungan gelapku bersama suami orang. Inilah cinta, dia mengobati bukan melukai.
***
Send to: Mas Firaz :)
Selamat malam, Mas. Maaf mengganggu mlm2. Aku ga mau berlarut-larut, to the point aja ya. Km pasti tau kesalahan apa yg kita lakukan. Melawan takdir dan garisan yg telah dibuat olehNYA. Mari kt jadikan semua yang salah menjadi benar, mari kt akhiri hubungan gelap yg tdk berujung ini. Kamu tentu senang melihat Tuhan senang, kamupun tentu senang melihat istri dan anak-anakmu senang. Mari sama2 saling membahagiakan dan mendoakan. Maaf jika saya merepotkan. Semua fasilitas yang kamu berikan. Mobil, atm, dan perhiasan-perhiasan itu akan saya kembalikan. Selamat malam.
message sent: Mas Firas :)
message sent: Mas Firas :)
Setelah sms itu terkirim, Firas menelephoneku berkali-kali, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku tak mau lagi tertipu dengan rayuannya. Hidupku akan tenang jika tidak ada yang aku sembunyikan. Aku menunggu esok hari, saat matahari terbenam dengan pesonanya di Benteng Pulo Cemeti dan aku akan menemui dia yang sempat hilang dan pergi tanpa pamit.
***
Aku datang agak lama daripada kemarin. Disana aku melihat sesosok pria yang duduk memperhatikan arah barat. Menatap langit yang kosong tapi dia terlihat serius menatapnya. Aku berlari kecil lalu duduk disampingnya.
"Eh, Mbak. Kok datengnya ga lebih awal kayak kemarin?" Dia mengawali pembicaraan.
"Iya, tadi di kantor lagi agak ribet."
"Oh iya, Mbak. Kita belum kenalan. Saya Alana Dewantara. Saya tinggal di hotel sekitar jalan Parangtritis, Jogja Selatan"
"Hmm.. nama yang bagus. Saya Kenaya Ferial. Saya tinggal dalam kenangan, mimpi, dan harapan yang saya reka-reka di dalam kamu. Saya lama menunggumu tapi baru saat-saat ini kamu muncul. Saya senang menatap matamu yang bening karena ingin melihat apa yang ada dipikiranmu. Seorang hawa atau rumus-rumus Kimia?" Aku tertawa kecil dan berkata santai, seolah hal ini bukanlah rasa yang harus dijadikan beban. Dia menatap mataku lama. Genggaman tangannya saat menyalamiku semakin kuat. Dia menarikku dalam peluknya yang hangat.
"Kenapa pergi gak pamit?" Aku menyambut peluknya dan berbisik ke telinganya.
"Hanya tidak ingin menyakitimu."
"Kenapa pergi terlalu lama?" Aku masih belum puas mengintrogasinya.
"Hanya ingin menjadi sesuatu yang berguna saat tiba disini dan saat kita bertemu. Setidaknya, aku tidak memalukan dengan gelar doktor yang sedang aku kejar."
"Masih pengen pergi lagi?"
"Ya, aku masih ingin menjelajahi dunia. Tapi, kemanapun aku berlari, aku pasti tersesat di dalammu. Saat aku berlari, aku juga membawamu berlari."
Mentari seperti tersenyum dan terlihat tidak ingin mengganggu kami berdua. Jadi, mentari memilih untuk terbenam lebih dulu tanpa kami menyempatkan waktu untuk curi pandang sebentar melihat lembayung yang ia cipratkan pada langit Jogja. Kini aku percaya. Sesuatu yang telah dipersatukan Tuhan, tidak dapat dipisahkan oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar