Sudah satu tahun sejak tulisanku yang lalu, mungkin saja kamu yang hari ini berbeda dengan kamu yang setahun yang lalu. Kamu telah bertumbuh menjadi seorang pria dewasa yang memilih luar kota sebagai tempatmu meraih dan menimba ilmu. Sungguh, sepertinya kita semakin jauh. Dan, kita telah lupa untuk saling mengingat, juga merasakan yang pernah terjadi dulu.
Waktu bergerak dengan begitu cepat, pertemuan dan perpisahan berganti-ganti seperti pakaian yang melekat di tubuh kita. Dulu, kamu masih laki-laki dengan rambut keriting yang senang mengerjakan soal matematika. Dulu, aku hanyalah perempuan lugu yang senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Kita berproses dalam waktu, bertambah dewasa dalam takdir yang kita tekuni, semua sudah berbeda dan tak lagi sama.
Apakah kamu masih menjadi laki-laki dengan senyum manis yang seringkali kucuri keindahannya, dengan diam-diam menatapmu? Apakah kamu masih orang yang sama, pria dengan sikap sederhana yang mampu melayangkan setiap bayang-bayang menjadi kebahagiaan yang mengalir pelan? Ceritakan padaku, apa yang kau alami selama setahun kemarin? Kebahagiaan yang berlipat-lipatkah? Aku yakin, kamu selalu bahagia, karena kebahagiaanmu masih sering kurapal dalam doa.
Kita sudah lama tak saling bertatap mata, tapi aku tak pernah lupa sinar matamu ketika menatapku dengan lugu. Aku tak bisa melupakan senyummu yang seringkali membuatku bertanya-tanya, tak ada diksi yang pas untuk mengungkapkan perasaanku dulu. Mungkin, kamu masih ingat, kita dulu masih sangat kecil untuk berbicara dan berbincang tentang cinta. Karena hatimu dan hatiku belum siap memahami yang telah terjadi saat itu, kita menajalani banyak perasaan yang terkesan maya tapi terasa begitu nyata. Setiap pertemuan adalah goresan baru dalam kertas putih, aku berharap tak ada penghapus yang mampu menghilangkan hari-hari menyenangkan yang pernah kita lalui dulu.
Kamu mengajarkanku banyak rasa. Dari rasa canggung, malu, bingung, berbohong pada perasaan sendiri, memendam, dan enggan banyak berkomentar. Sosokmulah yang telah memacu aku bercerita lewat puisi, puisi pertamaku bercerita tentang hal sederhana yang kita lewati. Pemilihan katanya masih begitu berantakan, mungkin jika saat itu kutunjukkan padamu, kamu pasti tertawa mengejekku. Lalu, mengetuk mejaku dengan jemarimu yang kecil dan gendut-gendut. Betapa manisnya kita dulu, sayang semua hanya kenangan yang tak bisa terulang. Semua seperti mimpi yang sulit diputar ulang kembali. Seandainya hidup adalah kaset rusak, aku ingin terus kembali memainkan lagu yang sama, lagu yang terdengar indah dan mesra... saat-saat keluguaan kita membiarkan cinta ada dan bertumbuh.
Diumurmu yang semakin bertambah, delapanbelastahun rupanya, tahun lahir kita sama namun tanggal dan bulannya berbeda. Aku hanya ingin mendoakan cita-cita dan harapanmu yang dulu sempat kauceritakan. Kamu bilang, kamu mau jadi pilot, lalu aku jadi teknik sipil. Ingat? Lucu ya, melihat kenyataan yang ada. Kamu sekarang jurusan Teknik Elektro, dan aku sekarang jurusan Sastra Indonesia. Rindukah kamu dengan percakapan-percakapan kita yang mengundang tawa itu? Dengan riuhnya kelas yang tak terlalu menganggu pembicaraan kita, kamu mengubah posisi dudukmu, memutar bangkumu hingga menyentuh mejaku. Kita memangku dagu, lalu bercerita, berkhayal, bermimpi, seperti anak SD lainnya.
Dulu, aku tak pernah berpikir untuk memperjuangkan kamu. Aku hanya tahu, kalau perasaanku begitu unik dan menyenangkan. Kamulah yang pertama kali membuat hatiku tergoncang. Aku masih ingat betul, saat kita berjalan di lorong-lorong kelas, mencuci tangan di wastafel dekat ruang guru. Mencari-cari tempat yang tak terlalu panas saat senam pagi di hari Jumat. Membeli makanan di sebelah kantin kelas kita dulu. Nampaknya, tempa-tempat yang kita kunjungi bersama sekarang sudah banyak berubah. Begitu juga aku dan kamu yang banyak berubah. Perasaanku memang tak lagi sama, tapi entah mengapa aku tak bisa melupakan kenangan yang sudah lebih dulu terjadi. Di balik ingatan yang ada, menyakitkan memang jika aku selalu mengingat banyak hal yang tak pernah sepenuhnya kamu ingat.
Kita sudah sangat lama tak bertemu, bagaimanakah wajahmu? Masihkah tatapanmu lembut seperti dulu? Apakah suaramu masih hangat dan tawa renyahmu masih begitu menyejukkan? Berbahagialah diumurmu yang baru, semoga kebahagiaan dan sepaket cita-citamu selalu terwujud bersama dengan kuatnya usahamu.
Tadi kamu cerita
Natal adalah salah satu hari yang paling kautunggu
Kelas empat, lima, dan enam membentuk regu
Paduan suara yang dilatih guru
Di aula sekolah kita
hiasan warna-warni bergantungan
Pak Padi, Pak Siregar, Ibu Lasni, dan Ibu Anita
Kita semua gembira
Tapi, aku kaget
waktu kamu bilang
ada lagi hal yang paling kautunggu
Menghias kelas bersamaku
seperti saat kita menghias telur
pada perayaan Paskah
Aku bingung
kenapa harus aku?
memangnya kalau sama ketua kelas kita kenapa?
Kamu diam
Tidak jawab?
Kalau boleh aku menjawab
Aku juga suka Natal
apalagi jika aku duduk si sampingmu
saat ibadah
Tugasku membuka Perjanjian Lama
Tugasmu membuka Perjanjian Baru
Satu Alkitab ada di tangan kita
Kamu menyentuh tanganku
Aku mau waktu berhenti.
Puisi bodoh dengan diksi yang berantakan ini masih kusimpan, terlalu jujur, tak ada rasa malu. Dan, tiba-tiba saja, rasa itu menyembul lagi, ingatan itu muncul lagi.
Aku merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar