Cerita sebelumnya: Aku Benci harus Jujur Mengenai Hal ini :)
Aku sengaja berangkat pagi-pagi, sebelum adzan subuh menggema, aku sudah siap dengan peralatan yang harus kubawa. Kutatap cermin dengan mantap, aku terlihat bodoh. Dengan kemeja putih yang kebesaran, rok hitam yang kepanjangan, juga rambut yang dikuncir dua di bawah. Wajahku terlihat sangat polos dan semua terlihat seperti dulu, ketika zaman taman kanak-kanak. Lugu, bodoh, namun tampak menyenangkan. Hari ini kemungkinan besar aku akan bertemu denganmu.
Tas yang berat kupikul di bahu; tidak biasanya aku sudah di stasiun sepagi ini. Aku menguap berkali-kali, tidurku tidak cukup panjang tadi malam. Dengan mata yang terbuka seadanya, aku menunggu kereta berhenti tepat di depanku, dan segera kupasang langkah pasti mengayun. Suasana dingin commuter line menusuk-nusuk indera perasa, aku merapatkan kedua lengan tangan di depan dada. Aku kedinginan.
Di stasiun tujuan, ketibaanku diserang gerimis tipis. Aku menyeberangi rel kereta dan kulanjutkan langkah kaki menuju tempat itu. Kulewati jalan raya yang ramai di depan stasiun, masih dengan gerimis tipis, juga langit mendung, sendirian. Lalu, kuseberangi lagi jalan itu, sebelum akhirnya pemandangan berganti menjadi gang kecil dengan kandang rusa di sebelah kanan. Aku berjalan pelan-pelan tak ingin terpeleset juga tak ingin menodai kemeja putihku. Pohon-pohon beringin di sepanjang gang seperti hendak memayungiku.
Semua berjalan biasa saja, namun semua berubah ketika seseorang menjegatku dan memberhentikan langkahku.
"Kenapa jalan sendirian?" ucap suara yang menciutkan keberanianku.Suara itu menggema di telinga, membuatku tak berani menatap lekat-lekat sosok itu."Kalau diajak ngobrol itu jawab! Lihat mata orang yang diajak ngobrol!" bentaknya keras.Kuberanikan diri untuk menengadahkan kepala. Rambutnya ikal dan sedikit lepek karena terkena gerimis, bentuk hidungnya mancung, ia mengenakan kaos merah dengan jaket kuning. Aku segera tahu. Itu kamu."Di lengan saya ada pita hitam, kamu harus memanggil saya dengan sebutan apa?" matamu membesar seperti ingin segera menerkamku."Maaf, Jendral.""Kamu dari jurusan apa?""Sastra Indonesia, Jendral.""Sekarang kamu jalan ke sana, percepat langkahnya!""Siap, Jendral."
Kupercepat langkahku dan kubiarkan sosokmu tertinggal di belakang. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak kemarin, mendengar suaramu juga menatap matamu untuk beberapa detik. Tahukah kamu ada perasaan bahagia yang diam-diam kurasakan? Ketika sosokmu ada di depanku, juga ketika aku punya kesempatan untuk menatapmu dari dekat... lebih dekat.
Aku tak bisa berhenti tersenyum, bahkan ketika panasnya ruangan auditorium mencucurkan keringat dari pelipis dan tanganku. Di tribun atas, aku begitu puas. Dalam jarak setinggi ini, aku bisa begitu bebas menatapmu dan menikmati keindahanmu. Fokusku terbagi untukmu juga untuk acara yang sedang berlangsung. Dengan tampang yang cemberut dan tanpa senyum, kau membuat segan manusia-manusia tengil yang sedang kauawasi. Aku masih terus menatapmu, sadarkah?
Dari kejauhan, kulihat kausibuk memarahi seorang lak-laki yang tak menguncir poninya yang panjang. Kulihat kau mengikat secara paksa poni laki-laki itu, aku tertawa diam-diam. Seandainya laki-laki itu adalah aku, betapa beruntungnya aku bisa merasakan sentuhan jemarimu dalam setiap helai rambutku.
Waktu terus berjalan, dan aku benci harus sampai di penghujung acara. Jadi, aku dan kamu harus berpisah lagi? Dan, aku harus menunggu waktu yang akan datang untuk segera tiba, agar bisa kupandangi lagi wajahmu. Harus berapa minggu lagi kutunggu, bagaimana jika perasaan rindu yang ada bertumbuh lebih hebat dari biasanya?
Haruskah terpisah lagi? Dengan keadaan kau sama sekali tak tahu tentang diriku juga namaku, begitu juga dengan aku yang tak mengetahui namamu. Tapi, pentingkah arti sebuah nama, jika perasaan yang ada lebih besar dan lebih kuat daripada sebuah arti nama?
Kau ubah semua yang absurd menjadi membahagiakan. Kau ubah rasa dinginku menjadi kehangatan yang berlipat ganda. Kau bawa kembali matahariku... menggantikan mendung yang selama ini hadir. Kau kenalkan aku pada rasa yang sulit dijelaskan kata-kata.
Aku benci harus jujur mengenai ini, aku harap kau bisa mengetahui sosokku walaupun aku tak pernah berharap agar kautahu perasaanku. Aku benci harus jujur mengenai ini, bahwa sosokmu selalu jadi sebab perasaan rindu tak pernah tersesat saat menemui jalan pulang.
Aku sibuk menghitung hari, awal September kita akan bertemu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar