Aku tidak heran jika terbangun dengan pemandangan seperti kemarin-kemarin. Melihat Ayah setengah telanjang bersama seorang wanita yang tidak kukenal. Entah wanita bayaran atau wanita jalang yang diselamatkan Ayah di pub semalam.
Tadi malam, Ayah mabuk dan wanita itu mengantarkannya sampai pintu rumah. Pak Beno, supirku, seperti biasa, tak banyak bicara dan berkomentar. Dia tahu betul sikap Ayah yang menjijikan, apakah dia harus mencibir orang yang selama ini menggajinya? Tidak, begitu juga aku, tak banyak berkomentar.
Perusahannnya berkembang sangat pesat. Ayahku membiayai segalanya. Ia pria yang mapan dan kaya, semua wanita meliriknya. Semua wanita itu berbeda rupa dan sifatnya, kadang mau saja diajak seranjang padahal baru berkenalan. Ada juga yang bersikap sok manis tapi di belakang ternyata sinis. Aku jadi mengenal banyak karakter orang dari wanita-wanita berbeda yang berkunjung ke rumahku, juga bermalam di ranjang Ayahku.
Aku tak bisa berkomentar banyak, juga tak ingin mengkritik sinis Ayahku. Aku anak yang penurut, dimanja dengan luar biasa. Aku anak satu-satunya, Ibuku sudah lama meninggal. Bunuh diri, mentalnya terlalu lelah untuk menerima perlakuan Ayahku. Pepatah bilang, di balik pria yang kuat, terdapat wanita yang hebat. Tapi, bagi Ibuku, di balik pria kuat, ada wanita yang menangis diam-diam dan berjuang mati-matian untuk sebuah keadilan. Dan Ibuku tidak menjadi pemenang. Ia memilih mengakhiri hidupnya, namun Ayahku tetap sama, beliau tak berubah, sedikitpun.
“Mau sarapan apa, Non Raya?” ucap Bi Ratna lembut, beliau menyapaku ramah di sudut meja makan.
“Ayah mana, Bi?” aku bertanya balik, mencoba mengabaikan pertanyaan Bi Ratna sebelumnya.
“Masih tidur kayaknya, Non.”
“Kemarin pulang sama siapa? Pak Beno?”
“Iya, mabuk berat, Non. Mulutnya bau alkohol.”
“Sama cewek juga?”
Bi Ratna terdiam, mungkin ia tak mau menyayat hatiku. Aku menangkap maksud itu dari perubahan air wajahnya. Ia tak banyak bicara, langsung pergi meninggalkanku. Beberapa menit setelahnya ada suara panci yang berbunyi nyaring, Bi Ratna memasak sarapan.
Aku masih di meja makan, terdiam dan sesekali menguap. Tatapanku menatap ke arah pintu kamar Ayah. Sudah pukul delapan pagi, Ayah dan wanita jalangnya belum keluar. Pikiranku mulai aneh, aku meninggalkan meja makan dan tidak menunggu sarapan segera tersedia di meja makan.
Langkahku gontai menuju kamar. Perasaanku campur aduk. Aku membuka pintu kamarku.
Brak!
Dan kubanting dengan keras. Semauku.
***
Aku dimanjakan tapi sungguh aku bukanlah wanita manja. Dunialah yang memaksaku untuk tak banyak bergaul. Di rumahku, seluruh fasilitas ada, aku tak perlu keluar. Aku punya supir dan banyak pembantu, mereka melayaniku secara intensif, setiap detik. Aku tinggal memanggil dan keinginanku langsung terkabul, muncul di depan mataku. Tapi, ada satu hal yang tak bisa mereka bawa ke depan mataku, cinta.
Banyak pria bilang, wanita seksi adalah wanita yang gemar membaca, tapi bagiku itulah persepsi pria tolol. Senang membaca tapi tak mampu berpikir jernih? Sama saja bodoh, apa gunanya membaca jika tak membagikan pengetahuannya? Aku lebih senang melukis, bermain biola di kamar, dan berdiam diri. Sendirian. Di kamar. Berjam-jam. Iya, kalian benar, aku tak punya teman.
Kesepian.
Jangan mengasihani aku, lihatlah, aku bahagia! Aku bisa miliki apapun yang kuinginkan. Aku tidak terkendala masalah uang. Ayahku kaya raya, dia bisa belikan apapun yang kusuka. Aku tinggal membuka suara, dan barang itu sudah ada di hadapanku. Iya, hanya barang, yang tidak menjamin kebahagiaan. Berbeda dengan rasa; bisa membuatku bahagia dan sedikit percaya.
Aku dibesarkan dengan elegan, aku sopan dan bertutur kata dengan baik. Ayahku mendidikku tapi tidak selalu ada untukku. Dia membayarkan semua kebutuhanku, tapi dia tak pernah mengerti arti kebahagiaan bagiku. Kembali ke konteks awal, sebagai anak maka aku tak bisa berkomentar banyak.
Pintu diketuk. Mungkin Bi Ratna. Aku berteriak tak terlalu lantang, mengisyaratkan beliau agar memasuki kamarku. Dalam sekejap, wanita yang sudah beruban itu berdiri di samping meja gambarku.
“Minggu ini, Non Raya ulangtahun kan?”
Aku menoleh. “Kenapa, Bi?”
“Ayah Non Raya sudah menyiapkan rencana?”
“Kayaknya belom, Bi. Dia kan sibuk.”
“Kok suaranya sedih?”
“Ulangtahunku paling-paling sama kayak tahun lalu. Cuma ada aku, Bi Ratna, Pak Beno dan pembantu lainnya.”
“Emangnya Non Raya enggak merayakan bersama pacar?”
Logikaku terpeleset. “Pacar?”
“Iya, pacar.”
Singkat, dan aku tak terlalu paham pada pernyataan Bi Ratna. Merayakan bersama pacar? Ide tolol, aku tak punya pacar, juga tak punya teman.
Bagaimana mungkin aku punya pacar, aku tidak bisa memercayai pria sepenuhnya. Lihatlah Ayahku. Dia brutal. Bitchy. Tolol. Tapi, tajir.
Aku yakin, semua pria seperti Ayahku. Dan aku tak akan pernah percaya pada mahluk yang selalu mudah tergoda memakan apel dari hawa-hawa jalang di sekitar mereka.
Aku tak percaya pria.
Juga cinta.
bersambung ke Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (part II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar