Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (part II)

Senin, 09 Juli 2012

Apakah Semua Pria seperti Ayahku? (part II)

 Cerita sebelumnya di sini :)

           Aku berbaring di tempat tidur, menatap setiap sudut kamar. Ramai oleh pernak-pernik dan aksesoris yang lucu dan unik. Senyumku sedikit mengembang, dalam suasana sepi seperti ini, aku tak punya alasan harus tersenyum lebar. Aku selalu kesepian, meskipun Ayah selalu menganggapku baik-baik saja. Aku mencari-cari diriku yang sempat hilang, pahitnya tak juga kutemukan. Aku terus mencari, terus berlari, lalu hanya sepi, selebihnya sendiri.
            Tatapanku nanar ke arah bingkai di atas meja gambarku, foto Ibu. Aku menghela napas panjang, bagaimana mungkin wanita sebaik beliau harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis? Apakah karena cinta?
            Cinta?
            Tolol!
            Semua orang di sekitarku mengaku sangat mencintaiku, tapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah membuatku iseng sendiri, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Aku tak boleh berharap lebih pada cinta. Jika banyak orang percaya bahwa cinta adalah penyelamatan, maka cinta bagiku adalah kutukan. Terlalu banyak orang yang mengagungkan cinta, tapi aku menganggap cinta hanyalah dongeng seribu satu malam yang tak akan menyentuh bibir kenyataan.
            Cinta itu pembodohan. Jangan paksa aku percaya pada cinta, karena aku belum percaya, dan mungkin tidak akan percaya.
***
            “Bi, kolam renang kotor tuh.” aku menuruni tangga dan mengajak Bi Ratna bicara. “Aku mau renang.”
            “Sabar ya, Non. Mas Agung lagi sakit, masuk angin, kasihan kalau disuruh bersihin kolam renang.”
            Aku tak langsung menanggapi pernyataan Bi Ratna, aku duduk di sofa sebentar dan menikmati nyamannya tubuh sofa. “Emang enggak ada yang bisa bersihkan kolam renang selain Mas Agung?”
            Bi Ratna memberhentikan tugas menyapunya, menatapku sebentar lalu menggeleng mantap.
            “Aku bete di rumah, Bi. Pengen renang.” renggutku pelan, aku memangku dagu.
            “Renang di dekat kompleks rumah aja? Nanti Pak Beno yang antar.”
            “Aku enggak mau, enggak bebas.”
            “Nah, kalau gitu Non Raya aja yang bersihkan kolam renangnya?”
            Tatapanku iseng ke arah Bi Ratna. “Nanti kulitku berubah warna jadi gelap dong!”
            “Renang juga bikin kulit gelap kan, Non?”
            “Gelapnya tapi beda dong, Bi.”
            Kami tertawa, namun tak benar-benar tertawa. Aku tersenyum, namun tak benar-benar bahagia. Aku bahkan sampai lupa cara tersenyum yang tulus, karena terlalu sering menyembunyikan perasaan yang kurasa.
            Aku tak banyak bicara hanya sesekali menatap Bi Ratna yang sibuk bekerja. Aku melempar pandang ke seluruh bagian ruang tamu. Terlalu besar tapi sepi. Terlalu banyak barang tapi tetap merasa sendiri. Hari ini, aku memang agak malas, tak ingin banyak melakukan kegiatan. Seharian di kamar. Menggambar. Sesekali menggesek biola. Tapi tetap saja kosong, aku melakukan segala hobiku, namun aku masih merasa kesepian.
            Aku menatap jam, sudah larut malam. Waktu berjalan begitu cepat, dan begitu membosankan. Hari-hariku tak berbeda, bahkan hampir sama. Seperti yang kubilang tadi, aku tak punya teman. Temanku hanya pensil, buku gambar, dan biola. Kalau teman bicara ada Bi Ratna, Pak Beno, Mas Agung, tapi mereka seringkali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan aku tetap saja sendiri.
            Aku berusaha memejamkan mata, berbaring di ranjangku yang empuk. Tapi, mataku segera terbelalak, ketika suara ketukan pintu terdengar, aku menyahut lantang. Pintu terbuka. Ayah.
            “Ini kado ulangtahunmu.”
            Aku menoleh. Dan melirik pelan ke tangan ayah. Kunci mobil.
            “Kenapa wajahnya tidak senang?”
            Tak peduli. Aku berbalik badan dan menarik gulingku. Mendekapnya erat di dada.
            “Enggak butuh.”
            “Harganya miliyaran lho, Raya.”
            “Bodo amat.”
            “Raya...”
            “Aku ngantuk.”
            “Ayah tidak bisa hadir dalam ulangtahunmu.”
            “Tak perlu hadir, memang tidak dibuat acaranya kan.”
            “Ayah sibuk.”
            “Iya, sibuk sama wanita-wanita jalang itu.”
            Ayah terdiam. Aku terdiam. Kita berbicara dengan sunyi, kita berkata-kata dalam hati.
            “Kamu salah besar, Ayah ada meeting. Proyek besar, untungnya triliyunan.”
            “Iya, aku ngerti. Ayah lebih sayang sama orang yang kasih untung triliyunan ke Ayah.”
            “Bukan gitu, Raya.”
            “Terus yang seperti apa?”
            Ayah masih berdiri, aku menangkap rasa bersalah dari nada bicaranya. Aku masih tak ingin menatap mata itu, mata redup yang merenggut semua kebahagiaanku, merebut masa kecilku, juga menghilangkan Ibu dari hidupku.
            “Aku enggak butuh mobilnya.”
            “Kamu mau apa? Rumah? Tanah? Perhiasan? Tas Gucci? Parfum?”
            “Aku mau Ayah. Di sini. Enggak pergi-pergi.”
            Aku tak banyak berkomentar, Ayah juga tidak. Kami punya ikatan darah, tapi perasaan kami selalu terjarah. Terpisah. Seakan-akan tak pernah saling mengenal.
            “Aku ngantuk. Mau tidur.”
            “Raya...”
            “Mobilnya jual aja, hasilnya kasih ke orang-orang yang kemarin rumahnya Ayah gusur. Mereka lebih butuh, kalau  aku enggak butuh.”
            Ayah sadar, aku sedang marah, beliau meninggalkanku sendirian di kamar. Selalu saja sendirian.
            Aku memeluk guling lebih erat, berusaha mencari sandaran di sana. Namun aku tak berhasil. Ada sesuatu yang basah, mengalir dari mataku. Ini selalu terjadi, sepanjang hari, sepanjang minggu, tak bosan-bosannya menghantuiku.
            Air mata.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ID Blog Kamu

Canvas By: Fauzi Blog, Responsive By: Muslim Blog, Seo By: Habib Blog