cerita sebelumnya ada di: Menjemput Angel (part II)
“Mata batin hanya soal perasaan. Sedangkan mata benar-benar membuktikan kenyataan. Perasaan hanya mampu menimbang-nimbang tanpa hasil yang tidak jelas. Sedangkan mata mampu menimbang dengan hasil yang akurat.” jelasku bersemangat, suasana mulai menghangat.
“Aku rasa mata batin atau yang biasa kita sebut hati harus difungsikan bersamaan dengan matamu.” suara lembutnya seperti nyanyian ninabobo yang menyejukkan. “Hati dan mata harus difungsikan secara bersamaan, supaya mereka bisa saling mengimbangi.”
“Ternyata kamu tahu banyak juga ya. Omong-omong, mana sayapmu? Aku tidak melihatnya.”
Malaikat tertawa kecil, suara lembutnya nyaris termakan tawa renyahnya. “Itulah kesalahan dongeng yang menceritakan tentang sosokku. Aku tak butuh sayap atau apapun yang membuatku terbang. Aku bukan mahluk hidup. Aku bukan burung. Ilmu pengetahuan mengubahmu menjadi sok tahu ya.”
“Dengan sikap sok tahulah makanya ilmu pengetahuan bisa dikembangkan. Jika tak ada rasa ingin tahu maka tak ada yang ingin tahu. Kamu tak tahu kalau manusia berjuang keras untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.”
“Aku menatap kalian semua dari surga. Aku tahu itu, Angel. Kalian bekerja dalam banyak hal. Tuhan tersenyum gembira melihat kalian yang berusaha keras untuk mengungkap ciptaanNya.”
“Tuhan senang tersenyum? Sepertinya Ia sosok yang sangat hangat ya?”
“Tentu saja.”
“Kami selalu menganggap dunia ini penuh misteri, makanya ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mengungkap misteri itu.”
“Tapi, pasti misteri bagi manusia bukanlah misteri bagi Tuhan. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Dia tahu apapun yang Ia ciptakan.”
“Sepertinya menyenangkan bisa berbincang banyak hal dengan Tuhan. Lanjutkan lagi ceritamu tentang Tuhan!”
Malaikat itu kembali tersenyum setelah mendengar perkataanku. “Kamu akan tahu setelah kamu bertemu denganNya.”
“Sepertinya kamu tak terlalu yakin pada ilmu pengetahuan yang diperjuangkan manusia. Apakah kamu pernah memperbincangkan hal ini pada Tuhan?”
“Kalian selalu jadi topik utama. Kalianlah yang mencuri perhatian Tuhan secara penuh.” cerita malaikat itu membawa pikiranku terbang melayang. “Tapi bagiku, ilmu pengetahuan yang tak diimbangi dengan rasa percaya pada Tuhan yang menciptakan segalanya sama saja nihil dan kosong! Kecerdasan manusia berasal dari Tuhan, dengan kecerdasan itu harusnya manusia tak menyangkal keberadaan Tuhan.”
Aku mencerna perkataan itu dengan sangat hati-hati. Aku dan malaikat terdiam beberapa menit. Aku kehabisan bahan pertanyaan, mungkin malaikat itu juga kebingungan mencari bahan pembicaraan.
Tiba-tiba, ia memecah keheningan. “Kamu mau terbang bersamaku?”
“Bagaimana caranya? Aku sedang sakit.” ucapku khawatir. “Lagipula seluruh ruangan ini terkunci. Aku tak mungkin keluar.”
“Semua yang terkunci bukan berarti menghalangimu terbang kemanapun. Kamu tadi berkata bahwa kamu bisa menjelajah dunia melalui tempat tidurmu kan?”
“Tentu saja. Tapi... kali ini berbeda.” aku menatap mamaku yang tertidur di sofa. “Lagipula, bagaimana kalau mamaku bangun?”
“Kita akan kembali. Tentu saja kita akan kembali.”
“Bagaimana caranya?”
“Begini.”
Malaikat itu mengangkat tubuhku. Ia tak mendenguskan nafasnya, seakan-akan tubuhku bukanlah beban baginya. Sungguh! Ia mengangkat tubuhku, aku sudah tidak lagi di tempat tidur, aku tidak menginjak lantai. Aku benar-benar terbang!
Ia membawaku terbang dan menembus jendela. Saat aku menatap ke belakang, jendela itu tetap utuh dan tidak pecah. Aku tertawa!
“Kita terbang!” teriakku lantang. Sakitku seakan-akan hilang!
“Ya... kita terbang!”
Malaikat itu terlihat sangat menarik dan memesona. Matanya berkilat-kilat seperti berlian di toko perhiasaan. Wajahnya bersinar lambut. Saat aku menatap ke bawah, semua terlihat kecil, aku mengeratkan pelukku pada batang lehernya.
“Tak usah memeluk seerat itu. Selama bersamaku, kau tak akan jatuh.” ia meyakinkanku dan meremas ketakutanku.
Kami juga terbang menyentuh awan. Pakaian rumah sakit yang kugunakan menjadi agak basah. Ada titik-titik air dalam bajuku. Aku tertawa seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Belum pernah aku sebahagia ini.
“Kali ini, kita mau kemana?”
“Boleh ke rumah sahabatku? Amri.”
“Tentu saja!”
Malaikat mempercepat laju geraknya, beberapa detik kemudian aku melihat rumah Amri dan kita dengan mudahnya menembus dinding kamarnya. Amri terlihat tertidur sangat pulas. Wajahnya sangat manis ketika tertidur. Aku tak pernah melihat wajah Amri sehangat dan sebahagia itu. Aku mengenggam tangan Amri dengan begitu hangat. Melihat pemandangan manis ini, entah mengapa mataku mengalirkan bulir-bulir airnya.
“Kamu menangis?” tanya malaikat sambil menatapku dengan heran.
(bersambung... Menjemput Angel Ending)
with love :)
Dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar