Sejak kehadiran dia, aku tahu bahwa akan ada saatnya kamu dan aku tak lagi bersatu menjadi kita. Sejak dia diam-diam hadir dalam hubungan kita, aku yakin bahwa semakin ada jarak antara aku dan kamu, serta semakin tidak adanya batas antara kamu dan dia. Dia memang berbanding terbalik denganku. Dia punya segalanya yang kau cari dan kau butuhkan, sedangkan aku tak lebih dari seseorang yang bahkan dibenci ibumu, karena aku berbeda dengan dia. Aku tidak seperti dia yang sipit dan berkulit putih, karena aku bukan Cina.
Aku tak mengerti mengapa sejak kehadiran dia, aku seakan-akan semakin jauh dan dilupakan. Aku semakin kehilangan kamu, aku semakin berjarak denganmu. Aku tahu bahwa aku memang pantas ditinggalkan dan dilupakan, aku pantas kamu hempaskan. Aku tahu aku hanya seorang wanita Jawa dan kamu bukanlah pria Jawa, kamu Cina, Sayang.
Ibumu memang tak pernah suka wanita berkulit sawo matang. Aku bahkan tak berani datang ke rumahmu. Aku tak berani menyalami tangan ibumu. Apakah rasa ketakutanku logis? Sedangkan dia yang baru mengenalmu beberapa minggu, sudah berani bertandang ke rumahmu, terlebih lagi mencium tangan dan pipi ibumu. Kapan aku bisa seperti itu, Cin? Mengapa ibumu tak mau tahu apa yang kuinginkan? Apa karena mataku tidak sipit? Apa karena aku bukan wanita Cina seperti dia?
Ternyata rasa ketakutanku telah menemukan jawabnya. Dia memang lebih baik dariku. Dia memang lebih pantas kau cintai daripada aku. Dia jauh lebih sempurna daripada aku yang hanya mampu melengkapimu, bukan mengimbangimu. Rasa ketakutanku telah menyentuh titik jenuh. Aku pasrah dengan pola pikir ibumu. Walaupun beliau bukan kamu, tapi beliau pantas mempengaruhi pilihanmu.
Dia, wanita Cina yang diperjuangkan ibumu, tak pernah tahu rasanya jadi aku. Aku yang berjuang mati-matian hanya untuk mencintai kamu. Aku yang jatuh bangun sendirian hanya karena menjadi kekasihmu. Tapi, itulah yang namanya pengorbanan, selalu di luar batas kemampuan. Kubiarkan kamu jatuh cinta, pada orang lain selain aku. Kau pantas bahagia, kau pantas menemukan wanita yang mengerti pola pikir ibumu dan mengerti budayamu. Aku belum sanggup melakukan itu, Cin. Aku terlalu lemah untuk mengimbangimu.
Jangan khawatir, Cin. Aku pasti melupakanmu, walau butuh waktu. Jangan takut, Sayang. ini hanya perpisahan, bukan hantu di tengah malam, jadi apa yang harus ditakutkan? Awalnya, mungkin semua terasa berbeda, tapi bukankah aku dan kamu terbiasa dengan perbedaan? Kita bahagia dalam jalan kita masing-masing. Kau dengannya dan aku? Ya, tanda tanya. Aku masih punya tugas yang sangat berat yaitu melupakanmu, kalau aku sanggup melupakanmu, selanjutnya aku akan mencari penggantimu.
Memang pertemuan selalu butuh perpisahan dan cinta selalu butuh keikhlasan. Maaf untuk budaya berbeda yang telah kuperkenalkan padamu. Maaf aku belum bisa membuat ibumu menyukaiku. Maaf aku tak pernah berani mencium tangan dan pipi ibumu. Maaf untuk segala perbedaan yang kuperlihatkan padamu. Maaf telah membawamu terlalu jauh, membawamu berlari ke tempat yang dibenci ibumu.
Kembalilah pada dia, wanita yang dipilih ibumu. Kalau ibumu menyukai dia, kau pasti juga mampu menyukainya. Maaf, Cin, aku tak bisa mengubah kulitku menjadi putih dan mengubah mataku menjadi sipit. Maaf, Sayang, karena kita harus rela dibunuh oleh perbedaan.
with love :)
Dwitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar