Kelas Fisika, 27 Januari 2012
Untuk, pemilik mata bening di balik kacamata itu
Aku bingung harus mengalamatkan surat ini kemana, ke rumahmu atau cukup ke hatimu? Aku juga takut kalau saat membaca surat ini kamu malah menaikkan alismu dan berkali-kali membenarkan kacamatamu. Ah, aku tak pernah lupa gerakan reflek yang kauciptakan saat sedang memperbaiki kacamatamu. Aku tak pernah lupa bentuk wajahmu saat seringkali mencuri pandang ke arahmu, kamu yang tepat berada di samping kananku, kamu yang tergesa-gesa mencuri hatiku.
27 Desember 2011, itulah tanggal pertemuan awal kita, apakah kamu heran mengapa aku begitu mengingat setiap detail pertemuan kita? Aku ingat saat tubuhmu basah oleh hujan senja dan rambutmu menjadi lepek karena rintik-rintiknya. Hujan memamerkan pesonanya, aku terpukau menatap butir-butir air hujan yang luruh membasahi kaca jendela bus. Kamu menduduki bangku di sebelahku, bangku bernomor 32. Kaumenghela nafas sembari menata kembali rambutmu, diam-diam aku memerhatikanmu, diam-diam aku mencuri pandang pada sudut senyummu. Tahukah kamu, sejak saat itu aku selalu memerhatikan setiap inci pergerakanmu? Tahukah kamu, sejak saat itu mataku hanya ingin menatapmu?
Kepada kamu, yang meminjakan bahunya untukku
Sejak sore hingga malam hari, kita memang tak saling bicara, tak ada kontak mata, hanya sikut kita yang sesekali bersentuhan. Malam pun tiba, penumpang tertidur pulas termasuk aku dan kamu. Kita tak tahu apa yang terjadi kala itu, sampai pada saat aku terbangun dan tahu-tahu kepalaku sudah berada di bahumu. Aku yang belum tersadar dari kantuk tak langsung menyadari kesalahan yang kulakukan. Aku malah menggerakan tanganku agar bisa melihat jam tanganku, pukul 02.00 pagi. Aku lalu menatap kamu yang berada di sampingku, aku tersentak! Ternyata sejak tadi kamu telah bangun dari rasa kantukmu dan kamu sangat sadar; sejak tadi aku tak sengaja menyandarkan kepalamu di bahuku, tapi entah mengapa kautak menyingkirkan kepalaku dari bahumu.
Sungguh, rasanya aku ingin membawa lari wajahku ke negeri antah berantah yang tidak kauketahui sama sekali, aku sangat ingin memindahkan wajah maluku ke wajah orang lain yang tak kaukenal. Melihat wajahku yang sedikit asam, kaumalah menyimpulkan senyum saat berkali-kali aku meminta maaf. Entah mengapa, aku suka sekali pada peristiwa yang terjadi tanpa kesengajaan itu. Aku merasa takdir benar-benar harus disalahkan karena peristiwa yang mengejutkan ini.
Sungguh, rasanya aku ingin membawa lari wajahku ke negeri antah berantah yang tidak kauketahui sama sekali, aku sangat ingin memindahkan wajah maluku ke wajah orang lain yang tak kaukenal. Melihat wajahku yang sedikit asam, kaumalah menyimpulkan senyum saat berkali-kali aku meminta maaf. Entah mengapa, aku suka sekali pada peristiwa yang terjadi tanpa kesengajaan itu. Aku merasa takdir benar-benar harus disalahkan karena peristiwa yang mengejutkan ini.
Aku menyandarkan kepalaku di jendela, menatap suasana kota dan lampu-lampu remang yang menghiasi jalan. Ada bisikan lembut yang menggelitik gendang telingaku, "Siapa namamu?"
Tak kuberitahukan namaku, aku menjawab dengan senyum singkat.... menahan diri.
"It's okay, kalau kamu merasa aku orang asing," ucapmu sambil menghelas napas, "Aku, Mikrobiologi Pertanian UGM 2005/2006, kamu bisa cari wajah seperti aku di sana. Tak perlu nama bukan?"
Iya. Tak perlu nama. Dan, malam itu berlalu seperti mimpi.
Iya. Tak perlu nama. Dan, malam itu berlalu seperti mimpi.
Perkenalan itu terjadi begitu sederhana. Perkenalan itulah yang hingga saat ini masih menggelitik malam-malamku, masa di mana aku sering mereka-reka kembali wajahmu. Kita saling bicara dan bercerita, tatapan mata kita saling mengikat lekat, sikut kita saling bersentuhan. Aku tak bisa lupa pada raut wajahmu yang menatapku kala itu. Kacamatamu memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, mata sipitmu mengayun penuh rahasia dalam benakku, sungguh aku sangat ingin mengenalmu lebih dari itu. Seakan-akan hanya suaraku dan suaramu yang saling mengalun merdu, layaknya gravitasi tak mau tahu pada rasa yang tiba-tiba saja menarikku. Dinginnya AC dan suara mengorok para penumpang tak menjadi pengganggu, bisikan-bisikan kecil dari pita suaramu benar-benar mencairkan suasana yang tadinya sempat beku. Sungguh, aku ingin malam tetaplah menjadi malam, agar peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa akhir dan tanpa gangguan takdir.
Bersamamu, matahari ada disudut bibirmu, disetiap lekukan senyummu
Ingatkah kamu apa yang terjadi saat pukul setengah enam pagi di daerah Magelang? Kamu sesekali mengintip melalui gordyn yang menyelimuti jendela, senyummu mengalir penuh arti dari bibirmu. "Tutup matamu!" bisikmu lirih tanpa gaduh, sepertinya kamu tak ingin penumpang lain memerhatikan kita.
"Kenapa?" tanyaku lugu, aku mengikuti perintahmu.
"Kalau aku suruh buka baru dibuka ya matanya." jelasmu singkat, terdengar suara gordyn jendela dibuka perlahan. "Buka!"
Aku membuka mata dan tersenyum malu-malu melihat pemandangan yang kausediakan untukku. "Suka?" tanyamu singkat.
"Sangat! Makasih ya, Tuan."
Ah, saat itu kita seperti sepasang kekasih yang rela terbakar oleh hangatnya cinta. Sadarkah kamu bahwa caramu menunjukkan kejutan itu begitu romantis? Walau kita hanya mampu menikmatinya lewat kaca jendela, walau saat itu suasana tak terlalu lirih dan tak ada semilir angin yang menggelitik manja tubuh kita. Bagiku, romantis sebenarnya tak diciptakan dan direncanakan, romantis yang sebenarnya adalah saat semua terjadi begitu saja, tanpa topeng dan penuh kejujuran, seperti yang kaulakukan untukku.
Terminal bayangan Jombor sudah semakin dekat, kamu begegas menyiapkan barang-barangmu. Rasanya begitu cepat kalau semuanya harus berakhir karena kita berbeda arah tujuan. Hanya dengan lambaian tangan, ucapan selamat tinggal terlontar begitu berat dari bibirmu. Aku tak bisa apa-apa saat melihat punggungmu mulai bergerak menjauhiku. Aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa dimatamu. Aku hanya teman 18 jam yang tak mungkin bisa menunda kepergianmu, aku memang bukan siapa-siapa buatmu. Mungkin, aku hanyalah wanita yang kautemui di persimpangan, lalu kautinggalkan saat kauingin lanjutkan perjalanan. Kita hanya dua orang bodoh yang tergoda oleh manisnya jebakan situasi.
Walau begitu aneh, entah mengapa peristiwa itu masih melekat di otakku. Pertemuan kita memang tak sederhana, sehingga otakku pun tak ingin melupakan setiap peristiwa indah saat bersamamu. Kamu... kekasih 18 jam yang kutemui tanpa rencana lalu berpisah tanpa praduga.
Hari ini tanggal 27 Januari 2012, sudah satu bulan peristiwa itu terlampau. Semua memang telah berlalu, hanya kenangan yang membisu di sudut ragu. Setiap mengenangmu, aku merasa berada kembali di masa itu. Masa pertemuan awal kita. Absurd dan aku terkejut.
Untukmu, kekasih 18 jam yang sekarang entah berada di mana, titip salam untuk wanita yang ada di wallpaper handphone-mu. Maaf karena dalam 18 jam aku telah meminjam kekasihnya untuk menjadi kekasihku. Maaf karena telah meletakkan hatiku belasan jam pada bening matamu.
Dari wanita yang belum berhasil menemukan sosokmu
Diam-diam dia menunggu pertemuan baru denganmu
Diam-diam dia mencari sosokmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar