Pada sepotong siang saat matahari mengerang berang, aku duduk diam menunggumu. Di bawah pohon beringin yang daunnya mulai berguguran karena musim kemarau, kau membuatku tegang membisu. Ditemani es kelapa yang setia menyejukkan tenggorokanku, kau masih saja menempuh perjalananmu. TransJogja berlari-lari kecil, berlalu-lalang melewati aku yang mematung disitu. Iseng, kembali kuintip jam tangan berwarna biru tua yang terlilit manis ditangan kiriku, pukul 14:30 dan kau belum juga menampakan batang hidungmu.
Stadion Mandala Krida kala itu menjelma menjadi "kompor" tanpa gas, sejauh mataku memandang terlihat bayangan fatamorgana yang meliak-liuk menggoda mataku. Bayangkan! Yogyakarta kala itu panas sekali! Berkali-kali kuusap keringat yang menyerah diam setelah disekresikan kulitku yang terbius panas. Untuk kedua kalinya, aku menatap jam tanganku, pukul 14:31, lama sekali! Memang saat kita menunggu, satu menit pun terasa begitu lama.
Beberapa menit kemudian, saat aku sedang sibuk berpangku tangan, sebuah sepeda motor Xirion yang masih kinclong menghampiri tempat dudukku. Sang pengendara sepeda motor membuka helmnya.
"Hey!" Sapanya riang diikuti senyumnya yang cukup manis.
"Eh, Mas..." Jawabku sambil terbangun dari tempatku mematung.
Pria itu turun dari sepeda motornya, menghampiri aku yang tersenyum malu, "Aku Senja, Dek." Sambil mengulurkan tangan, dia mengerlingkan matanya, menatapku.
"Aku Karin, Mas." Aku membalas uluran tangannya, lalu beberapa detik kami saling bertatapan, saling menyorot mata dalam-dalam. Aku tersadar dari momentum yang hampir membuat kami berdua terlamun, setelah bersalaman cukup lama, aku melepas tangannya.
"Ini, Mas. Es kelapanya aku pesenin dua. Diminum ya!" Ucapku seadanya, perasaan grogi memelukku dengan sangat kuat. Sekali lagi, aku mematung.
"Iya, Dek. Makasih ya. Kamu udah lama po nunggu aku tadi? Maaf yo." Nada penyesalan terdengar melalui ucapannya, dia tertunduk.
"Oh, rapopo, Mas. Tidak ada pertemuan yang harus diselimuti dengan penyesalan. Haha teko tenang to." Aku menghiburnya melalui perkataanku, lalu dia tersenyum kecil dan menatapku.
Senja mulai melepas jaket yang ia kenakan sejak mengendarai sepeda motor. Tangan kanannya disembunyikan dalam kantong yang berada dijaketnya. Entah apa yang dia lakukan. Aku sibuk menatap jalan raya di depan stadion Mandala Krida sambil menyeruput es kelapa yang sisa setengah gelas. "Buatmu!" Ucapannya mengagetkanku. Satu tangkai bunga mawar putih kala itu memenuhi seluruh pandangan mataku, bunga yang digenggam oleh seseorang yang bahkan baru pertama kali kutemui.
"Loh? Beneran?" Tanyaku tersipu malu, aku benar-benar tak berani menatap wajahnya sedikitpun, pipiku memerah. Sial! Perasaan idiot semacam apalagi ini?
"Beneran lah, Dek! Maaf yo gara-gara beli ini aku malah telat e janjiannya." Jawabnya sambil mengenggam mawar putih itu. Dia sangat berani menatap wajahku.
"Iya, Mas enggak apa-apa kok. Makasih banyak ya." Ucapku terbata-bata sambil mengenggam mawar putih itu. Kadang, setangkai bunga pemberian dari seorang pria mampu membuat seorang wanita tersipu malu.
***
Kami mulai memperbincangkan banyak hal. Dari soal hobi, keluarga, sekolahku, kuliahnya, tugas maketnya, tugas gambarnya, dan banyak hal menarik lainnya. Kala itu, Yogyakarta tak lagi terasa panas, semilir angin setia memainkan rambutku dan rambutnya. Suara daun yang bergesekan dengan jalan membuat semua mengalir apa adanya. Dia tersenyum, aku mengerlingkan mata. Dia menatapku, aku menyelami sinar lembut dimatanya.
Jam tanganku menunjukan pukul 16:00, entah mengapa waktu berjalan begitu cepat. Apa kali ini jarum jam membohongiku dengan berlari-lari kecil agar aku segera mengucapkan kata "Aku harus pulang." pada Mas Senja? Tuhan, aku masih ingin menikmati suara tawanya.
"Mas, sudah sore. Aku harus pulang."
"Kok cepet banget dek?"
"Sudah 1 jam lebih 30 menit, Mas."
"Kamu pulang sendirian?"
"Saudaraku menjemputku kok."
"Lha, sekarang saudaramu dimana, Dek?"
"Yang parkir disana, Xtrail hitam, itu saudaraku."
"Jadi, sejak tadi dia...."
"Memerhatikan kita."
"Hahahaha, lucu banget e kamu, Dek. Yasudah, aku antar kamu sampai mobil ya?"
"Enggak usah, Mas. Udah sore, ibumu pasti sendirian di rumah. Pulanglah." Aku membujuknya agar segara pulang, ia manggut nurut. Lalu kami saling bersalaman, aku meninggalkannya, tapi beberapa detik kemudian dia memanggilku dengan lantang, "Dek!"
Aku berbalik lalu menatapnya, "Iya, Mas?" Tanyaku singkat lalu Senja menghampiriku.
"Kamu pulang ke Jakarta tanggal berapa?"
"Sabtu, 3 September. Kenapa, Mas?"
"Punya waktu jalan? Ke pantai mungkin? Makan burger? Atau sekedar keliling-keliling Yogya saja?"
"Oh, ada kok, Mas. Bareng sama saudaraku ya, kan enak tuh."
"Cukup kita berdua saja, Dek."
"Naik motor, Mas?"
"Iya, mosok naik gerobak angkringan to yo, Dek"
"Hah? Kan panas, Mas!"
"Lha kamu gimana mau rasain udara Yogya kalau cuma duduk kaku di mobil? Sekali-kali naik motor to yo!"
"Enggak. Aku enggak mau kalau kita cuma jalan berdua. Itu asing buatku, aku enggak pernah jalan berdua sama lawan jenis. Mungkin, kamu bakal tertawa mendengar ini, tapi serius, aku enggak terlalu tertarik jalan cuma berdua." Penjelasanku panjang lebar sepertinya mulai menyudutkannya, "Datanglah ke rumah simbahku, Prawirotaman. Disana ada banyak keluargaku, kita enggak cuma berdua. Yang penting kan apa yang kita perbincangkan, Mas bukan dimana kita menciptakan perbincangan itu."
"Baiklah! Text me! Hati-hati di jalan ya!" Ungkapan setuju keluar dari bibirnya, aku meninggalkanya, lalu melambaikan tangan.
bersambung ke Kala Itu. Dia Pemeran Utamanya (part II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar